Perjudian Terakhir Konglomerat Hitam [20/07/04]

Pada malam terakhir kampanye putaran pertama pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, Yayasan Harkat Bangsa (YHB) mengadakan diskusi dengan tema Konglomerat Hitam Pilih Siapa? Hadir sebagai pembicara Faisal H Basri (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), Teten Masduki (Indonesian Corruption Watch), dan Sukardi Rinakit (Sugeng Saryadi Syndicated). Sekalipun tema konglomerat hitam tak banyak mendapatkan tempat dalam agenda pemilihan presiden, termasuk dengan tak adanya program spesifik untuk memangkas peran konglomerat (baik hitam atau putih), diskusi itu mengingatkan kembali tentang berbahayanya peran yang mereka mainkan sebagai tersangka utama krisis ekonomi Indonesia.

Tema-tema pembatasan peran konglomerat menjadi agenda kedua komponen masyarakat sipil, setelah penghapusan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Dalam putaran pertama pemilihan presiden-wakil presiden lalu, masyarakat sipil juga terus memainkan peranan untuk menggerakkan aksi-aksi antimiliterisme, terutama militerisme ala Orde Baru.

Sekalipun sejumlah rezim fasis bukan lahir dari tangan kelompok militer, dan sejumlah anggota militer bahkan turut menyumbang bagi proses demokratisasi (termasuk dalam meruntuhkan sistem kekaisaran di Rusia dalam Revolusi Bolshevik), kejengahan terhadap militerisme di Indonesia terutama tertuju kepada pengistimewaan komponen militer di berbagai bidang.

Kini, lewat proses institusionalisasi demokrasi, sebagian besar peran tentara di luar bidang pertahanan dan keamanan sudah dipangkas. Sejumlah polemik, bahkan konflik, turut menyertainya, terutama dari dampak pemisahan antara institusi kepolisian dan tentara. Namun, secara keseluruhan, Indonesia sedang memasuki arah baru dalam relasi sipil-militer, terutama dalam menegakkan supremasi sipil.

Persoalannya, sering kali senjata - dan politik - juga berkolaborasi dengan uang. Sejumlah penelitian yang dilakukan George Junus Aditjondro, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan perseorangan lainnya menunjukkan betapa naik-turunnya sejumlah imperium bisnis ditunjang oleh kedekatan dengan tentara. Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) hari ini terlihat makin profesional, serta terus menghadapi sejumlah pengawasan ketat dari masyarakat sipil dan masyarakat politik, justru agenda untuk membatasi peranan kelompok konglomerat menjadi berkurang. Bukan hanya itu, persoalan kembalinya sejumlah konglomerat hitam justru agak terlupakan, karena seolah-olah politik terlepas dari uang. Padahal, politik sering kali dikendalikan oleh uang, bahkan oleh utang. Uang adalah bensin dan pelumas mesin-mesin politik.

Agenda Demokratisasi
Ketika sejumlah negara di Asia mulai memangkas peran monopoli dan oligopoli dari konglomeratnya sebagai bagian dari agenda demokratisasi, terutama yang tampak di Korea Selatan, justru Indonesia agak mengabaikannya. Seolah-olah, demokrasi hanyalah soal bagaimana memainkan, menata atau mengikuti perkembangan partai-partai politik, pemilihan umum atau lembaga legislatif dan eksekutif.

Padahal, demokrasi juga bagian dari semangat untuk menghapus jurang kesenjangan antara si miskin dengan si kaya, terutama terlihat dari pikiran-pikiran Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Soekarno. Demokrasi adalah jalan untuk memperpendek jarak gaji antara seorang pegawai kebersihan di sekolah-sekolah dasar dengan gaji seorang komisaris perusahaan negara.

Dengan pikiran itu, selayaknya mempertanyakan kembali peranan dari konglomerat hitam yang selama ini mendapatkan keistimewaan perlakuan dari pemerintah. Ketika sejumlah koruptor kecil mendekam di penjara, para konglomerat hitam yang jelas-jelas mengelola anggaran keuangan negara lewat tanggungan dana dari bank-bank pemerintah, justru sedikit demi sedikit berhasil meraih asetnya. Ketika jalanan di Indonesia diisi oleh jutaan kaum pengangguran dan kaum miskin, sejumlah parade mobil mewah terus terlihat, mulus meluncur dengan segala kepongahannya.

Padahal, rumusan paling sederhana dalam memerdekakan bangsa ini adalah agar tidak ada lagi yang berpikir mau makan apa hari ini?, sementara lainnya berpikir bisa makan atau tidak hari ini? Rumusan-rumusan program apa pun tidak akan ada gunanya, selama masih terdapat bagian dari pemilih di republik ini yang masih menghadapi kelaparan.

Demokrasi jelas tak bisa diharapkan akan berlangsung adil, ketika tidak semua orang dapat sarapan pagi ketika datang ke tempat-tempat pemungutan suara. Juga, bagaimana kita mendefenisikan soal serangan fajar atau politik uang, ketika orang-orang yang belum sarapan pagi itu lantas menerima sebungkus nasi atau selembar uang dari sekelompok orang lainnya, diiringi dengan sejumlah saran politik?

Tatkala masih sedikit orang yang berkelimpahan harta datang ke kotak-kotak pemungutan suara pada pemilu 1955, sedikit sekali jarak yang terbentang antara pemimpin dan rakyat. Sebab, keadaannya sama-sama miskin. Pemilu paling spektakuler tahun 1955 itu menunjukkan betapa faktor uang dan sarapan pagi bukan ukuran. Namun, perubahan struktur perekonomian dan pendapatan yang terjadi selama hampir 50 tahun terakhir ini menunjukkan, betapa pengendalian politik pada akhirnya bergeser ke sejumlah kalangan yang bisa membeli suara politisi.

Kesamaan Hak
Sebagai cikal bakal negara demokratis, Indonesia tentunya harus siap menampung berbagai persoalan yang juga menjadi ciri masyarakat demokratis lainnya. Karena pemilih hanya memiliki satu hak pilih sebagai bentuk kesetaraan, sebaliknya setiap pemilih yang merupakan warga negara semestinya juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan adil atas negara. Selama ini, telah berhasil dirumuskan ketentuan antimonopoli, sebagaimana juga terjadi di negara-negara demokrasi sekarang pada awal mereka menapak alam demokrasi.

Sekarang, ketentuan itu harus lebih dielaborasi lagi menjadi kian konkret, termasuk pembatasan hak kepemilikan atas tanah, air, dan udara oleh kelompok-kelompok yang selama ini seolah-olah mewakili negara.

Kepemilikan atas hutan yang berjuta-juta hektare, bahkan dengan mengabaikan hak-hak ulayat dan cagar alam, adalah pelanggaran atas prinsip-prinsip demokrasi, karena selama ini terbukti tidak ditujukan bagi kepentingan rakyat. Hak publik relatif diabaikan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Dalam menuju pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua ini, tentunya gerilya politik makin intensif. Siapa pun presiden dan wakil presiden terpilih yang akan dilantik Oktober 2004, akan sangat diperhitungkan oleh konglomerat hitam di satu sisi, konglomerat putih di sisi lain, dan 200 juta rakyat Indonesia pada keseluruhan sisi. Bagaimanapun, putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden 20 September nanti, merupakan the grand final dan sekaligus perjudian terakhir dari konglomerat hitam yang membelanjakan uang tidak sah mereka lewat politik.

Sebab, satu-satunya jalan bagi mereka adalah politik, yakni keseluruhan sistem ketatanegaraan yang akan disusun lewat produk legislasi, dari tingkat perubahan UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah, sampai peraturan desa. Tindakan-tindakan ilegal yang mereka lakukan akan bisa dilegalkan, apabila sistem ketatanegaraan itu dikuasai. Mereka bisa kembali lewat pintu demokrasi.

Padahal, tujuan awal gerakan reformasi adalah menguburkan mereka lewat jalur demokrasi. Tentu, juga lewat jalur hukum, yakni pembaharuan hukum. Dengan menghindari kelompok-kelompok dan kaki-kaki tangan konglomerat hitam itu dari tubuh tim sukses, tim dana, sampai tim yang turut ambil bagian di pemerintahan kelak, setidaknya Indonesia benar-benar sedang menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan malah keadilan yang membuat sial mayoritas rakyat, namun bikin ongkang-ongkang kaki sebagian yang lain. Semoga. (Penulis adalah peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta.)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 19 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan