Perjanjian Ekstradisi Belum Maksimal
DPR diminta segera meratifikasi.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura mendapat kritik karena tidak menyelesaikan persoalan mengejar koruptor. Sebab, yang diekstradisi hanyalah pelaku, sementara pengejaran aset harus melalui proses hukum lanjutan.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M. Zen, perjanjian ekstradisi itu hanya memudahkan, tapi tidak menyelesaikan masalah perburuan koruptor. Yang diekstradisi hanya orang, sedangkan asetnya tidak. Itu percuma, ujar Patra saat dihubungi kemarin.
Jumat lalu, Indonesia dan Singapura meneken perjanjian ekstradisi. Butir penting dalam perjanjian itu, di antaranya, berlaku surut 15 tahun, koruptor Indonesia yang berganti kewarganegaraan bisa diekstradisi, dan permohonan ekstradisi dilakukan melalui proses pengadilan di Singapura.
Patra mengatakan perjanjian ekstradisi tersebut harus dibarengi dengan kerja sama antarpenegak hukum kedua negara. Harus disusun rencana aksi yang mendetail perihal kerja sama itu, katanya.
Kritik juga dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut Koordinator Tim Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho, karena tidak bisa menyita aset koruptor, perjanjian ekstradisi tersebut menjadi tidak maksimal. Perjanjian itu menyelesaikan masalah dengan menambah masalah, ujarnya.
Apalagi, kata Emerson, implementasi ekstradisi tidak bisa langsung dilaksanakan. Sebab, harus menunggu ratifikasi dari parlemen kedua negara. Pengalaman selama ini, ratifikasi parlemen selalu memakan waktu lama. Contohnya, ekstradisi dengan Australia pada 1992 baru diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 1994. Lamanya ratifikasi, kata Emerson, dikhawatirkan memberi kesempatan kepada koruptor untuk kabur. DPR harus segera membahas dan meratifikasi, ujarnya.
Adanya perbedaan sistem hukum Indonesia dengan hukum Singapura, kata Emerson, dikhawatirkan juga menjadi masalah. Emerson mengatakan bahwa di Singapura, yang menganut hukum Anglo Saxon, dimungkinkan adanya putusan pengadilan terlebih dulu untuk mengekstradisi. Sedangkan di Indonesia, yang menganut sistem Continental, tidak. Ia mencontohkan proses ekstradisi bekas bos Bank Harapan Sentosa Hendra Rahardja dari Australia.
Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif menilai perjanjian itu memberikan kesan Indonesia sebagai negara besar berdaulat tak berkutik terhadap negara kecil Singapura. Untuk bisa dibawa ke Indonesia, harus dengan putusan pengadilan Singapura. Ini sama saja bohong, ujarnya.
DPR, kata Zaenal, dalam posisi yang serba tidak enak. Sebab, untuk bisa menerima dan meratifikasi perjanjian ekstradisi, kata dia, akan ada sejumlah ganjalan. Tapi, bila tidak meratifikasi, akan dituding menghalang-halangi usaha membawa buron koruptor. TITO SIANIPAR | IMRON ROSYID
Sumber: Koran Tempo, 30 April 2007