Perisai Koruptor
Dalam sebuah pertemuan terbatas yang tidak dipublikasikan beberapa waktu lalu antara tim expert dari negara reviewer, yakni Inggris dan Uzbekistan, atas implementasi konvensi United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) di Indonesia dengan perwakilan lembaga penegak hukum kita, muncul pertanyaan terkait dengan izin pemeriksaan presiden dalam penanganan kasus korupsi.
Isu pokok yang muncul adalah pertanyaan seputar diskresi yang besar dari presiden untuk memberikan izin pemeriksaan terhadap pejabat publik yang akan diperiksa dalam kasus korupsi. Diskresi yang dimiliki pejabat publik dalam konteks penegakan hukum korupsi merupakan persoalan serius dalam kacamata reviewer, terutama karena diskresi sering kali mudah disalahgunakan, serta tidak memenuhi kaidah checks and balances dalam sistem penegakan hukum.
Alhasil,proses dan hasil dari penegakan hukum (korupsi) di Indonesia tidak banyak diakui negara lain.Implikasinya, Indonesia kesulitan dalam mendapatkan dukungan internasional untuk bekerja sama memberantas korupsi, seperti MLA dan ekstradisi. Problematika seputar izin pemeriksaan juga sempat mencuat setelah Kejagung RI merilis informasi yang isinya cukup mengejutkan.
Sejak 2005 hingga 2011, terdapat 61 izin pemeriksaan terhadap kepala daerah,baik sebagai saksi maupun tersangka korupsi, yang belum dikeluarkan Presiden SBY.Padahal, selama ini klaim dari istana mengatakan bahwa Presiden selalu menandatangani setiap izin pemeriksaan yang diajukan aparat penegak hukum. Belakangan Presiden secara langsung membantah bahwa ada izin pemeriksaan yang mangkrak di meja kerjanya. Selebihnya, Jaksa Agung RI Basrief Arief meralat informasi sebelumnya dan menegaskan hanya delapan izin pemeriksaan yang masih menunggu persetujuan Istana.
Penegakan Hukum Mandek
Terlepas dari silang sengketa informasi yang tidak akurat antara versi Istana dan Gedung Bundar, publik kembali disadarkan bahwa dalam penanganan kasus korupsi terdapat hambatan birokrasi yang sangat besar.Aparat penegak hukum di luar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengajukan surat izin pemeriksaan kepada pejabat Jakarta. Jika kepala daerah/wakil kepala daerah yang hendak diperiksa, izin pemeriksaan diajukan kepada presiden.
Sementara jika anggota DPRD provinsi,diajukan kepada mendagri atas nama presiden; dan andai anggota DPRD kabupaten/ kota, izin diajukan kepada gubernur atas nama mendagri. Meskipun terlibat mudah, surat izin pemeriksaan telah menjadi faktor krusial yang menghambat upaya penegakan hukum kasus korupsi.
Dalam catatan ICW, sejak 2004– 2010, paling tidak terdapat 38 surat izin pemeriksaan yang berstatus menggantung. Bahkan, ada beberapa kasus yang surat izin pemeriksaannya dijadikan sebagai instrumen untuk mengalihkan tanggung jawab pelaku sebenarnya kepada pihak lain yang membantu terjadinya korupsi.Tak heran jika banyak pejabat daerah di luar kepala daerah/wakil kepala daerah takut menjadi pimpinan proyek, karena mudah sekali dijerumuskan atasannya jika proyek yang ditangani bermasalah secara hukum.
Intervensi Hukum
Pengejawantahan ketentuan mengenai izin pemeriksaan ternyata jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan. Barangkali sedikit yang tahu,jika sebelum izin pemeriksaan turun dari Istana,terdapat proses pembahasan yang sering disebut sebagai gelar perkara antara penegak hukum dan kalangan eksekutif,yang diwakili antara lainolehSekretariatNegaradan Menpan.
Jika dalam gelar perkara dimaksud pihak eksekutif menganggap ada beberapa informasi sumir yang belum bisa diklarifikasi secara jelas oleh aparat penegak hukum yang tengah menangani perkara tersebut, maka izin pemeriksaan tidak akan dikeluarkan. Di samping itu,adanya aturan main yang dibuat pihak eksekutif untuk mengatur proses penegakan hukum yang dilakukan unsur yudikatif, bisa dikategorikan sebagai intervensi hukum. Bagaimanapun, kerja-kerja penegakan hukum adalah wewenang dari yudikatif yang sama sekali tidak bisa diatur eksekutif.
Jika pun terdapat regulasi yang membatasi, regulasi tersebut berada dalam kerangka konstitusi atau undang-undang, bukan pada level peraturan yang dibuat oleh pejabat setingkat menteri. Memang terdapat kekhawatiran bahwa aparat penegak hukum, terutama di daerah, tidak profesional dalam melaksanakan wewenangnya, atau bahkan menyalahgunakan wewenangnya untuk menekan pejabat publik tertentu demi kepentingan pribadi.
Maka caranya adalah,dengan mendorong berfungsinya mekanisme eksaminasi di internal lembaga penegak hukum dan meningkatkan efektivitas kerja-kerja pengawasan eksternal yang dilakukan Komisi Kejaksaan atau Komisi Kepolisian.Bukan justru membuat aturan main yang dapat terjebak pada intervensi hukum atas nama ketentuan izin pemeriksaan.
Melanggar Konstitusi
Implikasi buruk lain yang muncul karena hadirnya ketentuan mengenai izin pemeriksaan adalah praktik diskriminatif dalam penegakan hukum. Politik izin pemeriksaan telah membagi warga negara dalam dua kasta besar, yakni kasta pejabat publik dan kasta rakyat biasa. Kasta pejabat publik memiliki hak istimewa untuk tidak bisa diperiksa aparat penegak hukum jika tidak ada izin pemeriksaan, meskipun diduga terlibat pidana korupsi; sementara warga biasa langsung bisa ditangkap.
Padahal dalam pandangan konstitusi, hukum harus berlaku adil dan sama untuk semua warga negara.Dalam praktiknya, prinsip konstitusi yang menekankan pada equality before the law berubah menjadi ketidakadilan dalam prinsip dan pelaksanaan hukum. Hukum dan aparat penegak hukum lantas tidak bisa hadir untuk menjaga tertib sosial secara imparsial,karena dipaksa oleh undang-undang untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara satu pihak dan pihak lain.
ADNAN TOPAN HUSODO, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 14 Mei 2011