Peringkat Korupsi Nusantara

Korupsi di Indonesia tidak lagi dilakukan hanya oleh pejabat tinggi, tapi merembet ke pejabat yang paling rendah. Juga tidak hanya tumbuh di kota besar, tapi sudah menyebar ke pelosok kota kecil, bahkan ke tingkat kecamatan dan desa. Ironisnya, pemberantasan korupsi yang sudah menjadi tekad semua pihak ternyata tidak ada dampaknya di lapangan. Bahkan ada kesan muncul solidaritas salah tempat. Sekelompok orang, sekelompok organisasi, bahkan juga partai politik melindungi koleganya yang ketahuan terlibat korupsi. Semua orang gampang berteriak berantas korupsi, tapi begitu kelompoknya sendiri yang menjadi tersangka kasus korupsi, terjadilah toleransi kebablasan.

Hasil survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) memperjelas bagaimana wabah korupsi itu menyebar ke berbagai kota dan instansi. Bahwa hasilnya menetapkan Jakarta sebagai kota paling korup, itu memang tidak mengejutkan. Begitu pula peringkat terburuk seterusnya yang ditempati Surabaya, Medan, Semarang, dan Batam, tidak ada yang aneh. Kota-kota tersebut adalah pusat bisnis, tempat peredaran uang terbanyak. Perusahaan nasional dan multinasional sebagian besar ada di kota-kota ini. Bandingkan dengan Wonosobo, sebuah kota pertanian di Jawa Tengah, yang dinobatkan sebagai kota terbaik karena paling rendah tingkat korupsinya. Konglomerat mana yang mau menanamkan modal di kota pegunungan ini?

Peringkat korupsi yang disandang kota-kota besar dan kota kabupaten ini tidak berarti mewakili buruknya aparat pemerintah di sana. Meskipun Jakarta, Surabaya, dan Medan berada dalam peringkat buruk, itu tidak menunjukkan bahwa pegawai pemerintahan di kota itu lebih jelek dibandingkan dengan pegawai yang ada di Wonosobo atau Banjarmasin, misalnya.

Yang terjadi adalah perbedaan lahan yang bisa dijadikan sarang korupsi. Itu bisa dilihat dari survei TII ini yang menyebutkan lahan korupsi itu ada di banyak tempat: pengurusan izin usaha, pelayanan pendidikan, rumah sakit, puskesmas, PLN, PAM, telepon, kantor pos, polisi, dan banyak lagi. Secara kasatmata saja orang kecil di masyarakat sudah bisa merasakan sendiri bentuk korupsi itu, dari mengurus kartu tanda penduduk (KTP) di kelurahan sampai mengurus surat izin mengemudi (SIM). Bahkan, untuk peringkat korupsi di kalangan instansi, nomor satu diduduki bea dan cukai, lalu disusul kepolisian dan lembaga peradilan.

Bagaimana sebaiknya kita menyikapi hasil survei lembaga TII ini? Yang menarik, ternyata era pergantian rezim dengan runtuhnya Orde Baru, plus pergantian pemerintah di era reformasi, tidak memperkecil kasus korupsi. Justru ada yang berpendapat keadaan sekarang semakin parah. Ini tentu saja memprihatinkan. Kalau benar seperti itu, kita harus mengambil sikap dengan memperbarui komitmen kita dalam memberantas korupsi.

Cara memperbarui komitmen itu yang perlu dirumuskan. Pengawasan harus terus-menerus dilakukan secara berjenjang dan tentu saja pengawas harus memberi teladan. Masyarakat juga harus menutup peluang bagi munculnya korupsi. Misalnya, jangan menyogok polisi hanya agar SIM lebih cepat jadi.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan