Perilaku Koruptif DPR

Dengan tertangkapnya Abdul Hadi Djamal, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bersama uang yang diduga suap berjumlah miliaran, mudah untuk disimpulkan bahwa lagi-lagi ada anggota DPR yang memperdagangkan kewenangan dan pengaruhnya. Menjual kewenangan dengan bayaran uang negara. Perdagangan kewenangan yang berujung perampokan uang rakyat.

Hal ini semakin memperlihatkan perilaku koruptif DPR. Sudah sembilan orang anggota DPR yang ditangkap dengan perkara yang kurang-lebih sama. Daftar yang boleh jadi bertambah mengingat perkara-perkara tersebut merupakan perkara yang dilakukan oleh anggota DPR yang nakal dengan memperdagangkan kewenangannya. Dalam hal jualan kewenangan, sulit percaya jika itu hanya dilakukan oleh perorangan. Jualan macam ini hanya bisa dilakukan oleh sindikasi, mafia yang melibatkan banyak anggota DPR.

Tentunya menjadi menarik untuk dianalisis mengapa DPR, yang seharusnya agung terus-menerus, menunjukkan tingkah laku koruptif dengan menjual kewenangannya. Sulit mengatakan tidak ada yang salah dalam mekanisme ketatanegaraan perihal DPR. Secara teori, rumusan dasar korupsi adalah adanya kewenangan yang besar tanpa adanya pengawasan yang memadai. Hal itulah yang menjadi cikal-bakal tindakan koruptif. Di Indonesia, DPR menjadi salah satu lembaga penuh kewenangan, tanpa pengawasan dan model checks and balances yang berarti. DPR kemudian menjadi sarang dari kemungkinan tindakan koruptif.

Di DPR saat ini, bertumpuk kewenangan besar, mulai kewenangan legislasi, anggaran, pengawasan, rekrutmen jabatan publik, serta "hujan" kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Dan itu secara garis besar dikerjakan sendiri oleh DPR, tanpa mekanisme checks and balances yang memadai. Salah satu cita besar ketika dilakukan empat kali perubahan UUD 1945 adalah mengurangi kewenangan besar yang bertumpuk pada eksekutif, yang kemudian diserahkan ke legislatif. Tapi sayangnya, ketika banyak kewenangan yang ditumpuk di DPR, konstitusi gagal mengatur pengontrol dan pengawasannya.

Dari sinilah semangat untuk pentingnya penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pola bikameral telah hadir semenjak perubahan UUD 1945, tapi sayangnya, model bikameral yang terbangun adalah bikameral yang "setengah hati", bahkan cenderung "aneh". Stephen Sherlock (2005), misalnya, mengatakan DPD merupakan contoh kamar kedua aneh yang menggabungkan limited powers dengan high legitimacy. Perannya sangat kecil dalam proses legislasi, sedangkan pada saat yang sama, melalui proses pemilihan umum yang sangat ketat. Hal ini merupakan kombinasi yang belum pernah terjadi di negara mana pun, kata Sherlock.

Tidak hanya di bidang legislasi, tapi minim peran juga terjadi pada perihal pengawasan, anggaran, maupun rekrutmen komisi dan/atau pejabat publik. DPD hanya memiliki peran kecil, dan hampir dikatakan tidak ada. Parlemen dua kamar, dengan DPR sebagai "kamar utama" dan DPD sebagai "kamar kecil". DPR memegang kunci pelaksanaan kewenangan, sedangkan DPD lebih banyak hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan kewenangan tersebut.

Model ini harus diakhiri. Tanpa pengawasan kuat secara intraparlemen, DPR akan terus-menerus merasa mudah menjual kewenangan yang dimiliki. Di sinilah keniscayaan menguatkan DPD harus dilakukan. Dengan kewenangan yang dibagi ke dalam dua kamar secara relatif seimbang, tentunya perilaku koruptif DPR dapat dihindarkan karena adanya model checks and balances. Paling tidak, akan ada mekanisme DPD yang akan mengawasi DPR dan begitu juga sebaliknya.

Pada titik inilah amendemen konstitusi menemukan relevansinya. Proses amendemen yang telah kita lakukan empat kali kelihatannya masih membutuhkan sentuhan berikutnya, tentunya termasuk penguatan DPD untuk memperbaiki model checks and balances terhadap DPR.

Efek jera
Hal kedua yang menjadi penyebab atraktifnya beberapa anggota DPR bermain koruptif dengan kewenangannya adalah penindakan yang masih terkesan lamban dan tidak tegas. Benar, tepukan hangat harus kita berikan kepada KPK, yang telah mampu masuk ke wilayah yang dulunya sulit ditembus, yakni DPR. Tapi, pada saat yang sama, harus kita ingat bahwa kemampuan KPK menembus DPR masih sangat terbatas. Hingga saat ini, KPK terlihat rajin mengungkap perkara yang berkaitan dengan anggota-anggota DPR, namun pada saat yang sama belum mampu menuntaskan perkara-perkara tersebut.

Siapa pun paham, ada distingsi antara pengungkapan dan penuntasan. KPK belum mampu menuntaskan dalam artian belum berhasil menyeret semua pelaku. Pada skandal aliran dana Bank Indonesia, hingga saat ini KPK hanya mampu menyeret pelaksana lapangan. Orang-orang lainnya di DPR yang menjadi pemikir, perencana, dan penikmat dana haram dalam skandal tersebut tetap belum tersentuh. Salah satu yang nyaris tanpa proses penegakan hukum yang berarti juga terlihat pada dugaan bagi-bagi uang ketika Deputi Gubernur BI dipilih oleh DPR. Sang whistle-blower, Agus Condro, secara gamblang telah menjelaskan secara detail perkara tersebut. Anehnya, hingga saat ini tetap tanpa kejelasan arah pengungkapan dan penuntasannya.

KPK seharusnya menunjukkan giginya dalam pemberantasan korupsi, termasuk di wilayah korupsi yang melibatkan anggota DPR. Salah satunya dengan memperlihatkan kemampuan dan kemauan pengungkapan serta penuntasan yang tinggi. Tanpa ada kesan tebang pilih. Intinya, kita sedang merajut sistem antikorupsi yang baik, sembari membangun monumen pemberantasan korupsi yang kukuh dalam upaya mengurangi model koruptif. Tentunya, dengan membangun sistem checks and balances di parlemen serta adanya penegakan hukum yang kuat dan komprehensif bagi para koruptor berbaju safari anggota DPR, ada harapan perilaku koruptif DPR dapat dikurangi. Karena itu, demi memperbaiki perilaku koruptif ini, kita harus mau dan mampu melakukannya.

Zainal Arifin Mochtar, pengajar ilmu hukum dan Direktur PuKAT Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan