Perilaku Berbangsa; Kreativitas dan Korupsi

Di tengah keterpurukan yang berkepanjangan, bangsa Indonesia terasa seperti kerupuk yang sedang masuk angin alias melempem. Setiap kali diadakan survei tentang produktivitas atau daya saing, juga kepastian hukum, kita selalu terpuruk. Namun, tidaklah bijak apabila dikatakan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang tidak kreatif.

Seribu bukti bisa ditemukan, tersebar dari Merauke hingga Sabang, tentang daya kreativitas warga negara kita. Sebut saja Marjiyo dari Desa Paten, Yogyakarta, yang mulai menyebar virus bercocok tanam organik untuk memutus ketergantungan terhadap pupuk buatan (Kompas, 10 Desember 2005), atau Masrah dengan mobil marmut listriknya memulai kemandirian manufakturing otomotif (Kompas, 5 Desember 2005).

Demikian juga Ayi Rohman dengan perpustakaan kecilnya di Desa Arjasari, Jawa Barat (Kompas, 28 November 2005). Di dunia bisnis terdapat Rusdi Kirana, yang menebar demam low cost carrier di Indonesia dengan Lion Air-nya, Hermawan Kertajaya menjadi pelopor marketing consultant di Indonesia, sedangkan di ranah manajemen spiritual terdapat Ary Ginandjar dengan ESQ-nya (Swa, 5 Januari 2005).

Tidak ketinggalan pula para pelaku ekspor fiktif, yang dengan menggunakan daya kreativitasnya memalsukan dokumen ekspor dan restitusi pajak. Mereka juga mampu bekerja sama dengan oknum aparat sebagai sebuah tim. Belum lagi kreativitas para penyelundup: mulai dari pasir laut, kayu gelondongan, minyak mentah sampai satwa langka, yang konon nilainya mencapai ratusan triliun (Kompas, 16 Februari 2003). Tengok pula kreativitas para bupati dalam mengejar dan mengelola dana alokasi umum (Kompas, 15 November 2005).

Namun, para siluman perekayasa BLBI adalah yang terhebat. Saking hebatnya seperti atraksi sulap. Uang bertriliun-triliun rupiah hadir dan menghilang begitu saja. Ke mana perginya, cuma tukang sulap BLBI yang tahu. Kita hanya mampu geleng-geleng kepala. Mereka semua hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak orang kreatif dan inovatif yang tersebar di seluruh Indonesia.

Anda mungkin tidak setuju tatkala saya menyatukan para penyelundup dan para pesulap BLBI dengan Pak Marjiyo atau Hermawan Kertajaya. Tidak apa. Itu cuma masalah sudut pandang. Yang ingin saya coba garis bawahi, Indonesia tidak kehilangan daya kreativitasnya. Entah itu berupa kreativitas produktif maupun kreativitas destruktif.

Dari Merauke sampai Sabang, dari pelosok desa sampai ke pencakar langit di kota, daya kreativitas warga negara hadir dan terjadi setiap hari. Dan kita memiliki 250 juta penduduk, yang merupakan aset luar biasa besar, kalau kita bisa memberdayakannya secara maksimal.

Korupsi adalah salah satu bentuk kreativitas, yaitu kreativitas destruktif. Seseorang yang tidak kreatif dan atau tidak dipaksa untuk kreatif tidak akan melakukan korupsi. Kalau seseorang nrimo, apa adanya, menjalani tugas-tugas yang harus ia jalani dengan komitmen dan menikmati apa yang ia dapatkan sebagai rida dari Allah, apa ia akan korupsi? Dan, bukankah kreativitas muncul dari ketidakpuasan atau desakan kebutuhan dan tekanan lingkungannya?

Warga terhormat
Simaklah pernyataan seorang pegawai dalam pembukaan tulisan Handrawan Nadesul (Kompas, 10 Februari 2005). Di zaman semakin sulit, apa masih mungkin hidup tanpa suap. Hampir semua pegawai perizinan, petugas imigrasi, dan layanan publik doyan makan suap. Suap membantu hidup kalau gaji saja tidak cukup.

Dari pernyataan itu terurai bahwa korupsi telah menjadi praktik (kebiasaan) sehari-hari. Seperti halnya merokok, orang tahu bahayanya, tetapi tetap saja melakukannya. Semua orang tahu dan paham betul korupsi itu dosa dan merusak, namun tetap saja melakukannya. Mustahilkah memberantas korupsi?

Seandainya di negeri ini terdapat Hakim Bao dan para pembantunya yang sangat kompeten dalam menegakkan hukum dan keadilan, mungkin kita harus membuat belasan hingga puluhan penjara baru. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang (koruptor) harus berdesakdesakkan dalam penjara, dari koruptor kelas hiu sampai koruptor kelas teri. Apakah semua ini akan menyelesaikan masalah korupsi dengan tuntas? Ya, setidaknya selama Hakim Bao masih menjabat. Bila tidak?

Bila korupsi adalah perilaku, maka kita harus menundukkannya dengan berbekal ilmu perilaku. Dalam perspektif behavioris, perilaku adalah fungsi dari konsekuensinya (Daniels, 2005). Jadi, orang melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang terjadi pada orang itu ketika ia melakukannya. Di sinilah keterkaitan antara budaya konsumtif materialistis dengan korupsi tergambar jelas. Bahwa, budaya tersebut merupakan anteseden (latar belakang) terhadap perilaku koruptif. Dan, orang yang bergaya hidup konsumtif materialistis memiliki kemungkinan yang tinggi melakukan korupsi. Tetapi tindakan tersebut tidak akan terjadi berulang-ulang bila konsekuensi yang terjadi setelah perilaku konsumtif tidak mendukung atau memberikan dorongan positif (menguatkan) perilaku tersebut.

Dalam budaya konsumtif materialistik, the richman is a nobleman, status dan penghargaan sosial yang diterima seseorang karena kaya (entah asalnya dari mana) adalah salah satu penguat perilaku koruptif.

Tentu kita tidak menutup mata terhadap lemahnya sistem hukum dan sistem pengawasan pada birokrasi pemerintahan, yang memberi celah untuk perilaku koruptif tersebut. Lalu, mengapa hukum peradilan (walau bersih) kadang tidak efektif memberantas korupsi? Hal tersebut tidak lain karena sedikitnya waktu yang harus dijalani seorang pelanggar (koruptor) dalam menjalani proses hukum. Sementara koruptor dapat menikmati hasil korupsinya secara pasti dan segera setelah ia melakukan tindak korupsi. Karena konsekuensi yang cepat dan pasti memiliki kekuatan (efektivitas) yang lebih baik dalam mengatur perilaku, maka proses hukum menjadi kurang efektif dalam memberantas korupsi.

Untuk memberantas korupsi, kita terlebih dahulu harus mengidentifikasi perilaku-perilaku koruptif dan menyusun konsekuensi untuk menghentikannya. Mengapa? Karena hukum tidak memberi tahu orang gambaran yang jelas tentang perilaku alternatif/jalan keluar dan hanya memberi tahu apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Maka kita harus mengidentifikasi perilaku-perilaku alternatif dan menyusun konsekuensi positif untuk mendorong perilaku antikorupsi tersebut.

Perilaku antikorupsi akan efektif apabila menghasilkan sesuatu yang positif bagi orang yang mengalaminya. Dorongan positif dan penghargaan sosial yang terus-menerus dan merayakan pencapaian keberhasilan, sekecil apa pun, akan menguatkan usaha perubahan. Hal ini bersesuaian dengan sebuah pepatah dari Jepang: Tetes hujan yang melimpah menghasilkan samudra. Karena lingkungan (pekerjaan, teman kerja dan atasan, pergaulan dan keluarga) menghadirkan konsekuensi yang besar dan berpengaruh terhadap perilaku, ia dapat menjadi sumber dorongan positif yang kuat untuk perilaku antikorupsi.

Hati dengan hati
Semua ini tidak akan berarti bila tidak ada integritas dari pemimpin, mulai dari presiden sampai pemimpin tingkat lokal, pejabat-pejabat BUMN, birokrat, elite politik sampai pejabat hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman). Bahwa kita sering menonton dan mendengar berbagai macam inkonsistensi antara ucapan dan jargon-jargon antikorupsi dengan tindakan pemberantasan korupsi yang masih terkesan tebang pilih, secara tidak sadar telah menciptakan dorongan positif/menguatkan perilaku koruptif. Toh, semua orang melakukannya, begitu kata angin. Demikian juga nasib buruk para whistle blower dalam upaya membongkar aksi korupsi, secara sadar atau tidak telah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan