Pergantian Pimpinan di MA Tidak Menjamin Perubahan
Pergantian pimpinan di tubuh Mahkamah Agung diragukan akan membawa perubahan signifikan di lembaga peradilan tertinggi itu. MA tetap dikuasai orang lama dengan cenderung mempertahankan status quo. Pendapat tersebut dikemukakan praktisi hukum sekaligus Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Taufik Basari, Sabtu (3/1).
Profil MA tahun 2009, kata Taufik Basari, tak kan jauh berbeda dengan tahun 2008. Padahal, dalam penilaian LBH Masyarakat yang didasarkan pada sejumlah kriteria, citra MA dan peradilan di bawahnya sangat terpuruk.
LBH Masyarakat mengeluarkan evaluasi penegakan hukum selama tahun 2008 terhadap delapan institusi, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, pemerintah, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan MA.
Penilaian yang dilakukan meliputi akuntabilitas dan integritas (bobot lima), transparansi (bobot empat), pengawasan internal, kinerja, dan reward and punishment (masing-masing berbobot tiga), dan kepercayaan publik (bobot satu). Nilai terentang antara empat (sangat baik) dan minus empat (sangat buruk).
Dari hasil penilaian, MA mendapatkan peringkat terbawah dengan nilai minus 3,7, mendekati sangat buruk. MA dinilai gagal melaksanakan reformasi peradilan. Hal ini antara lain tecermin dari sikap MA yang menolak audit biaya perkara pada Juni 2008, pengusulan nama dua hakim konstitusi tanpa melalui proses seleksi yang melibatkan partisipasi publik, serta pengawasan internal yang dinilai meragukan.
Keterpurukan MA, ujar Taufik Basari, melampaui Kejagung yang tahun lalu dihebohkan oleh peristiwa tertangkapnya Urip Tri Gunawan. Posisi Kejagung berada di peringkat kedua dari bawah. (ANA)