Perencanaan Pembangunan, Mau ke Mana?
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan tepat yang diperlukan-setelah melihat pelbagai opsi yang ada berdasarkan sumber daya yang tersedia-untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan yang ingin dicapai bisa segera atau bisa di kemudian hari, yang secara umum dapat dikategorikan ke dalam tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Tindakan yang perlu diambil dapat berupa kebijakan, misalnya, menyesuaikan harga BBM atau kegiatan fisik, misalnya membangun proyek jalan raya. Jadi ada rencana kebijakan (policy plan) dan rencana kegiatan fisik (physical plan).
Perencanaan dapat dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat/swasta. Perencanaan pemerintah dapat dilakukan secara terpusat oleh pemerintah pusat atau terdesentralisasi bersama dengan pemerintah daerah. Ruang lingkup rencana dapat bersifat nasional, regional, atau sektoral; dapat juga bersifat makro/menyeluruh, atau mikro.
Jadi perencanaan merupakan suatu proses yang sangat bermanfaat karena dapat membantu kita di dalam mengelola hidup kita ke arah yang lebih baik, termasuk kehidupan kita sebagai suatu bangsa.
Karena kita ingin memperbaiki hidup bangsa kita melalui pembangunan, maka perencanaan pembangunan jelas merupakan suatu proses yang sangat membantu.
Namun, sifat, ruang lingkup, dan pelaku perencanaan pembangunan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan dinamika pembangunan. Hal itu telah terjadi di banyak negara berkembang dan juga terjadi di Indonesia.
Awal pembangunan
Pada tahap awal pembangunan Indonesia, pemerintah khususnya pemerintah pusat, memegang peranan yang dominan di dalam pembangunan nasional beserta perencanaannya karena pemerintah pusatlah yang memiliki kemampuan dana-yang berasal dari minyak dan bantuan/pinjaman luar negeri-maupun daya.
Sedangkan pemerintah daerah maupun masyarakat/swasta belum memiliki kemampuan tersebut. Akibatnya, pemerintah pusatlah yang melakukan hampir segala jenis kegiatan pembangunan termasuk perencanaannya.
Masyarakat dan swasta hanya mendukung rencana pemerintah, baik sebagai supplier maupun kontraktor atau subkontraktor dari proyek pemerintah. Jadi pemerintah pusat berdiri paling depan, sedangkan masyarakat/swasta menyokong dari belakang.
Perencanaan pembangunan juga dilakukan secara menyeluruh dan terpusat dan dipercayakan kepada badan khusus, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang direorganisasi dalam tahun 1967, di mana Bappenas melakukan perencanaan kegiatan fisik/proyek bersama dengan departemen teknis maupun perencanaan kebijakan untuk menopang kegiatan fisik pemerintah.
Untuk menjamin bahwa rencana pemerintah ini diikuti oleh semua pihak, termasuk departemen teknis, maka kepada Bappenas diberikan wewenang pembiayaan pembangunan.
APBN pada waktu itu dibagi dalam anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dengan alokasi anggaran pembangunan ditentukan oleh Bappenas. Departemen Keuangan hanya mengadakan penghitungan mengenai penerimaan dalam negeri serta pengeluaran rutin untuk mengetahui besarnya tabungan pemerintah yang merupakan salah satu komponen anggaran pembangunan di samping pinjaman luar negeri yang pemanfaatannya juga menjadi wewenang Bappenas. Dengan demikian, di samping merencanakan hampir seluruh kegiatan pembangunan, Bappenas juga menetapkan prioritas pembiayaannya.
Semuanya ini dilaksanakan berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan ketetapan MPR yang berisikan tujuan negara dalam garis besar serta strategi dasar untuk mencapainya.
Dari situ disusun rencana pembangunan jangka panjang 25 tahun serta rencana pembangunan lima tahun (repelita) dan rencana tahunan yang pada dasarnya adalah anggaran pembangunan setiap tahunnya. Itu dahulu, dan memang sesuai dengan tuntutan zamannya.
Perencanaan masa depan
Dengan semakin berhasilnya pembangunan nasional yang diselenggarakan pemerintah, kemampuan masyarakat dan swasta juga semakin meningkat, baik dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan fisik/proyek maupun kemampuan dana untuk membiayainya. Sedangkan di lain pihak, kemampuan dana pemerintah semakin menurun. Dengan demikian, perencanaan pembangunan khususnya perencanaan kegiatan fisik/proyek, juga semakin bergeser ke masyarakat dan swasta.
Namun, peranan pemerintah cq Bappenas dan Departemen Keuangan masih tetap relevan, hanya saja sifatnya berubah.
Pertama, kegiatan fisik pemerintah semakin menurun dan terbatas hanya pada penyediaan public goods, seperti air minum, tenaga listrik, telepon, sekolah, dan rumah sakit/puskesmas. Dengan digabungkannya anggaran rutin dan anggaran pembangunan, maka wewenang anggaran sepenuhnya berada di tangan Departemen Keuangan.
Karena itu, perencanaan fisik yang menyangkut public goods, baik dalam jangka menengah dalam bentuk Medium Term Expenditure Framework maupun dalam bentuk anggaran pembangunan tahunan, akan lebih efektif dilaksanakan oleh Departemen Keuangan bersama-sama dengan departemen teknis dan bukan lagi oleh Bappenas karena Bappenas tidak lagi memiliki budget power. Namun, untuk itu dibutuhkan masa transisi karena dewasa ini Departemen Keuangan belum memiliki kemampuan perencanaan kegiatan fisik seperti yang dimiliki dan dibangun Bappenas selama 35 tahun lebih.
Kedua, karena sebagian besar kegiatan fisik pembangunan berada di tangan masyarakat/swasta, untuk menjamin bahwa kegiatan masyarakat itu secara menyeluruh akan mengarah pada sesuatu yang kita inginkan bersama, maka diperlukan suatu kesepakatan nasional mengenai tujuan umum ke mana pembangunan bangsa ini mengarah atau suatu visi mengenai masa depan.
Jadi perlu semacam GBHN yang dulu merupakan TAP MPR. Namun, karena tidak ada GBHN lagi, maka perlu ada suatu rencana indikatif jangka panjang yang disepakati bersama dalam bentuk undang-undang/UU (sebagai pengganti GBHN) yang memberikan indikasi ke mana bangsa ini mau dibawa dalam misalnya 20-25 tahun yang akan datang; apa tantangan yang akan dihadapi dan strategi untuk mengatasinya dengan disertai proyeksi mengenai pelbagai skenario yang mungkin terjadi. Rencana indikatif jangka panjang ini perlu disusun oleh pemerintah cq Bappenas melalui suatu proses konsultatif dari bawah yang pada akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan bersama bukan proses sosialisasi seperti sekarang ini, di mana pemerintah sudah memutuskan sendiri dan hanya menjelaskan kepada masyarakat. Jadi peranan Bappenas masih penting dan strategis di dalam merumuskan rencana indikatif tersebut.
Ketiga, karena sebagian besar kegiatan fisik pembangunan sudah berada di tangan masyarakat/swasta, maka masyarakat/swasta sekarang berada di depan sebagai pelopor pembangunan dan pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan bukan saja dengan menyediakan public goods, tetapi juga melalui kebijakan publik untuk mengarahkan dan mendukung kegiatan masyarakat/swasta.
Perencanaan atau penyusunan kebijakan ini yang harus dibuat oleh pemerintah dan lembaga pemerintah yang tepat, untuk itu adalah Bappenas. Karena yang direncanakan adalah kebijakan, maka sifatnya adalah issue-oriented, strategis dan lintas-sektoral bukan sektoral seperti dalam kegiatan fisik. Jadi semacam white paper yang dihasilkan oleh banyak negara.
Proses pembentukannya pun harus partisipatif konsultatif dari bawah di mana pemerintah dengan sungguh-sungguh mendengar pandangan dari masyarakat karena kebijakan itu dimaksudkan untuk memfasilitasi rencana dan kegiatan masyarakat.
Jadi seperti apa yang diperjuangkan United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) melalui Jajaki (Jaringan Kebijakan Publik Indonesia), suatu proses pembentukan kebijakan publik dengan melibatkan semua stakeholders atau suatu networking among all stakeholders.
Jadi dinamika pembangunan Indonesia menuntut adanya perubahan dalam peranan pemerintah, termasuk peranan Bappenas dan Departemen Keuangan di dalam perencanaan pembangunan. Perubahan yang sama juga terjadi di negara berkembang lainnya seperti Korea Selatan di mana Economic Planning Board/EPB terutama fungsinya sebagai perencana fisik sekarang digabung dengan Kementerian Keuangan.
Bappenas yang merumuskan rencana indikatif jangka panjang dan rencana kebijakan berupa white papers tetapi tidak lagi memiliki budget power, sebaiknya bukan merupakan suatu kementerian, melainkan suatu badan khusus yang bukan saja bertanggung jawab langsung kepada presiden, tetapi merupakan badan di dalam lembaga kepresidenan yang menyuarakan suara presiden.
Bertolak belakang
Penggeseran di dalam sifat perencanaan pembangunan nasional di Indonesia, termasuk peranan Bappenas dan Departemen Keuangan, seharusnya tercermin di dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Sayangnya hal itu tidak terjadi bahkan terkesan kedua UU tersebut yang tidak disusun bersama-sama sebagai satu paket justru bertolak belakang; mungkin karena ketua Bappenas dan menteri keuangan pada waktu itu tidak dapat berkomunikasi secara baik. Masing-masing tampak mau mempertahankan wilayahnya.
Arah UU No 17/2003 memang benar, tetapi pelaksanaannya tidak memperhitungkan bahwa Departemen Keuangan masih harus membangun kapasitasnya di dalam hal perencanaan fisik. Sebaliknya, UU No 25/2004 masih terbuai di dalam pola lama di mana Bappenas masih berkecimpung di dalam perencanaan kegiatan fisik yang sifatnya operasional, sektoral, dan menyeluruh; bahkan definisi perencanaan di dalam UU No 25/2004 pun sangat keliru.
Beberapa saran
Untuk mengembalikan peranan perencanaan pembangunan ke jalur yang semestinya sesuai dengan tuntutan dinamika pembangunan, maka kami mengusulkan agar:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), yang sedang disusun, diperbaiki lagi melalui suatu proses konsultasi yang lebih intensif untuk menghasilkan suatu kesepakatan bersama, sedangkan format dan isinya diperbaiki sehingga menjadi suatu rencana indikatif yang efektif.
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah disusun perlu disesuaikan sehingga menjadi satu paket policy papers atau white papers yang issue-oriented, strategis, dan lintas-sektoral. Kalau tidak dapat diubah lagi, ya paling sedikit dilengkapi dengan white papers yang issue-oriented.
3. Bappenas dan Departemen Keuangan yang komunikasi di antara pimpinannya dewasa ini sudah lebih baik, segera mengambil langkah-langkah untuk mengadakan revisi guna menyinkronkan UU No 25/2004 dengan UU No 17/2003 dengan memperhatikan kecenderungan global dan dinamika pembangunan di Indonesia. Kalau tidak, kita akan terus bertanya-tanya: Perencanaan pembangunan, mau ke mana?(Adrianus Mooy Senior Adviser pada United Nations Support Facility for Indonesian Recovery)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 26 Februari 2005