Perburuan Koruptor Diundangkan; Sri Mulyani: Banyak Yang Akan Kembalikan Uang

Perburuan para koruptor yang kabur ke luar negeri akan semakin digencarkan. Ini setelah kemarin DPR menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana yang menjadi payung hukum untuk mengejar para pemakan uang negara itu.

RUU yang mengatur kerja sama penanganan kejahatan pidana antarnegara ini akan mempersempit ruang gerak para koruptor. Dengan UU baru itu nanti sangat mungkin kian banyak koruptor kakap bersikap kooperatif dengan cara mengembalikan uang negara. Ini seperti sikap tiga debitor BLBI yang datang ke Istana Kepresidenan dan berjanji menyerahkan harta bendanya, dua hari lalu.

Pengesahan RUU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana itu diungkapkan 10 fraksi di DPR saat menyampaikan pendapat akhir dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjoguritno.

FPDIP melalui juru bicaranya Eva Sundari mengatakan, RUU yang disahkan menjadi undang-undang ini bukan hanya untuk mengatasi kejahatan korupsi lintas negara, tetapi bisa juga untuk mencegah kejahatan jual beli manusia lintas negara.

Bantuan timbal balik yang dimaksud dalam RUU tersebut adalah permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan di pengadilan (pasal 3 ayat 1). Isinya berupa permintaan mengidentifikasi dan mencari orang, mendapatkan pernyataan atau bentuk lain, menunjukkan dokumen atau bentuk lain, mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan.

Menurut dia, pergerakan kriminalitas tidak lagi mengenal batasan ruang dan bersifat regional. Kondisi ini disadari banyak negara. Karena itu, dirasakan perlunya meratifikasi Convention Against Transnational Organized Crime, di Palermo, 2002.

Konvensi itu menyepakati upaya pemberantasan kejahatan yang bersifat transnasional serta terorganisasi. Salah satunya melalui bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matter), kata Eva.

Juru bicara FPAN Arbab Paproeka menegaskan, selama ini penuntasan kasus korupsi kerap terkendala kaburnya para koruptor ke luar negeri. Dengan UU baru ini diharapkan semua kendala itu bisa diminimalkan. Kita harapkan kendala-kendala yuridis dalam menangkap dan menyita aset para koruptor yang kabur ke luar negeri bisa diatasi, ujar Arbab. UU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana ini, lanjut anggota Komisi III ini, akan menjadi payung hukum bagi aparat untuk memburu, menangkap, menyita, dan menyidangkan pelaku tindak pidana yang kabur ke luar negeri.

Tapi, bukan hanya koruptor, semua tindak pidana, termasuk pelaku illegal logging, illegal fishing, dan illegal maning, katanya.

Pendapat senada disampaikan juru bicara FKB Nursyahbani Katjasungkana. Dia mengatakan, dengan UU tersebut pemerintah lebih mudah mengejar koruptor kelas kakap yang kerap lari ke luar negeri. Pemerintah juga bisa mengambil harta hasil korupsi yang sudah dibawa lari ke luar negeri, jelas Nursyahbani.

Juru bicara FPKS Abdul Azis menegaskan, untuk memburu pelaku tindak pidana, pemerintah harus bekerja sama dengan negara lain. Lewat RUU yang disetujui parlemen, jalan menuju kerja sama internasional makin terbuka lebar. Tindakan pencucian uang dan pelarian koruptor ke negara lain, misalnya, akan dapat diatasi dengan UU ini, tegasnya.

Dalam UU tersebut diatur mengenai siapa yang berwenang mengajukan permohonan bantuan kepada asing dalam masalah pidana serta bantuan apa yang bisa dimintakan. Yang dapat mengajukan permintaan bantuan adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum. Itu artinya Menkum-HAM.

Dalam pasal 9 ayat (1) RUU tersebut dinyatakan bahwa menteri dapat mengajukan permintaan bantuan kepada negara asing secara langsung atau melalui saluran diplomatik.

Ayat (2) menyebutkan bahwa permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh menteri berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung. Ayat (3) menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan bantuan kepada menteri, selain Kapolri dan Jaksa Agung, juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebut Identitas Koruptor
Kapolri Jenderal Pol Sutanto akhirnya mengungkapkan tiga debitor yang bertemu dengan wakil pemerintah di Istana Kepresidenan Senin lalu. Mereka adalah James Januardi dari Bank Namura Yasonta, menunggak Rp 123,4 miliar; Ulung Bursah dari Bank Lautan Berlian, menunggak kewajiban Rp 615,44 miliar; dan Umar Putirai dari Bank Tamara, menunggak kewajiban Rp 190,7 miliar.

Kapolri mengatakan, pemerintah memberikan perhatian khusus kepada para penunggak BLBI. Ini kan jaringan yang sangat tertutup. Kita perlu kepekaan yang tinggi. Mohon bersabar, katanya.

Kapolri menegaskan, proses hukum akan tetap berlangsung bagi banker yang diduga terlibat pelanggaran hukum dan terdapat indikasi penyimpangan aturan pidana. Polri akan melihat kasus per kasus untuk menentukan penyelesaian secara perdata dan pidana. Kalau yang masalah perdata, perdatanya kita selesaikan. Tentu, yang seperti David Nusa Wijaya, pidananya tetap kita proses, ujar Kapolri.

Sutanto mengingatkan, tidak seluruh debitor BLBI bermaksud melanggar hukum. Sebagian banker sudah sesuai aturan. Namun, rush (penarikan uang besar-besaran) menyebabkan kolapsnya bank-bank yang cukup sehat dan kurang sehat. Mereka yang ingin mengembalikan pinjaman kan harus kita fasilitasi. Jangan sampai aset atau kekayaan ini hilang, jelasnya.

Sebagian banker yang lain, menurut Kapolri, mengaku tidak tahu lembaga pemerintah yang ditunjuk untuk menerima pelunasan kewajiban setelah pemerintah menutup BPPN. Mereka sudah membuat surat pernyataan untuk menyelesaikan tanggungan. Tapi, karena tidak ada instansi yang secara khusus menangani itu, jadinya berkepanjangan dan tertunda-tunda, terang Kapolri.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, Departemen Keuangan dan Kejaksaan Agung telah memiliki daftar debitor BPPN yang tidak kooperatif menyerahkan aset sebagai pelunasan kewajiban BLBI. Setiap lembaga juga telah memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas.

Siapa yang menyerahkan aset, dia mendapatkan SKL (surat keterangan lunas). Itu ada daftarnya. Jadi, setelah dapat SKL, keluar SP3 (surat penghentian penyidikan perkara). Itu bagi yang kooperatif. Yang tidak kooperatif juga ada daftarnya, itu diadili. Ada juga yang tidak kooperatif terus lari, itu yang sekarang kita kejar, ujar jaksa agung di Kantor Kepresidenan kemarin.

Jaksa Agung menegaskan komitmen pemerintah untuk mengikuti mekanisme release and discharge dengan konsekuen. Debitor yang sudah menyerahkan asetnya berhak mendapatkan penghentian penyidikan. Jaksa agung menilai aneh desakan masyarakat agar seluruh debitor BPPN yang menerima BLBI ditangkap.

Itu kan aneh. Kenapa tidak ditangkap waktu presidennya masa lalu. Sudah ganti presiden malah disuruh nangkap. Padahal, itu diputuskan waktu kabinet-kabinet presiden yang dulu, tukasnya.

Jaksa agung juga membantah aparat penegak hukum melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apanya yang tebang pilih. Kita punya daftar kok, mau dari (Partai) Golkar ada yang ditangkap, dari PDI (P) ada, dari PBB juga ada. Kalau Demokrat, kan partainya baru, orang korupsi kan butuh waktu, katanya.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua pihak menghargai hak-hak debitor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ingin melunasi kewajiban dengan menyerahkan aset pada negara. Pasalnya, pemerintah tengah berupaya meminta pertanggungjawaban dari seluruh debitor BLBI yang berada di dalam dan luar negeri.

Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, pemerintah tetap berpegang teguh pada ketentuan hukum dalam proses pengembalian kerugian negara kasus BLBI. Seluruh proses dilakukan secara transparan dan objektif sesuai aturan hukum. Pemerintah tidak memberikan perlakuan khusus kepada para debitor BLBI. Penegakan hukum justru sedang menguat, kata Andi menanggapai sinyalemen bahwa pemerintah kelelahan melakukan upaya penegakan hukum.

Presiden, kata Andi, tidak berkomunikasi dengan tiga debitor yang kemarin bertemu dengan Kapolri, Menko Perekonomian, dan menteri keuangan di Kantor Kepresidenan. Pertemuan dilakukan di istana karena pejabat-pejabat yang berkepentingan tengah berkumpul untuk mengikuti sidang kabinet. Presiden tidak bertemu para debitor, tidak juga Pak Sudi (Seskab Sudi Silalahi), ujar Andi.

Rapat Terbatas Batal
Rencana pertemuan tertutup Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto dengan Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk membahas BLBI kemarin batal. Alasannya, Boediono dan Sutanto tidak bisa hadir. Padahal, Sri Mulyani sudah membatalkan kewajibannya untuk hadir dalam paripurna DPR yang akan mengesahkan RUU PAN (Perhitungan Anggaran Negara) 2003. RUU tersebut terpaksa dikembalikan lagi ke Bamus (Badan Musyawarah) DPR.

Di kantor pusat Departemen Keuangan kemarin, tampak hadir Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Makbul Padmanagara dan Direktur PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) M. Syahrial. Batal, batal, ujar Makbul singkat. Syahrial juga menolak dimintai komentar. Aku ke sini cuma laporan biasa, tuturnya.

Sementara itu, Sri Mulyani mengungkapkan, saat ini sudah ada empat debitor yang berjanji akan menyelesaikan kewajiban utangnya. Namun, Ani -sapaan Sri Mulyani- tidak bersedia menjelaskan nama-nama debitor tersebut.

Yang akan mengembalikan banyak. Yang sudah pasti empat. Namanya nanti ya, kata Ani. Ketika ditanya apakah keempat debitor itu termasuk tiga orang yang datang ke Istana Kepresidenan, dia menolak menjawab.

Saat ini, tambah Ani, pihaknya sedang membahas mekanisme pengembalian dan penyelesaian utang para debitor kakap tersebut. Mereka yang selama ini berada dalam persetujuan dengan pemerintah untuk mengembalikan uang waktu krisis itu sudah ditangani melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Sekarang tinggal bagaimana penyelesaiannya, jelasnya. Pemrosesannya juga melibatkan para debitor yang sudah ditangani kepolisian. (adb/tom/noe/sof)

Sumber: Jawa Pos, 8 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan