Perang SBY Melawan Korupsi


Kesangsian sebagian masyarakat terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memberantas kejahatan korupsi mulai memudar. Pernyataannya yang konsisten di berbagai media cetak dan elektronik cukup menggembirakan. SBY yang tidak melakukan intervensi kekuasaan kepada aparat penegak hukum juga perlu diapresiasi. Ketakutan, bahkan gerah, telah dirasakan pejabat negara yang korup sejak program pemberantasan korupsi Presiden SBY gencar dilakukan. Kejaksaan Agung RI dan KPK telah menjadi andalan dalam perang melawan kejahatan korupsi.

Gereget perang melawan kejahatan korupsi semakin gencar, terutama ketika jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan KPK. Pada saat itu, Ayin (Arthalita) menyerahkan uang tunai USD 6.000, sekitar Rp 5,8 miliar, diduga sebagai uang jasa meloloskan kasus BLBI.

Langkah KPK mencokot jajaran Kejagung menimbulkan guncangan psikologis cukup hebat. Jampidsus Kemas Yahya Rahman dan Jampid bidang ekonomi dilengserkan.

Kepercayaan masyarakat kepada Kejagung sempat melorot. Tapi, Presiden SBY tetap mempertahankan Hendarman sebagai garis terdepan program perang melawan kejahatan korupsi dalam jajaran kabinetnya. Tampaknya, perang terhadap koruptor sebagai pelaku kejahatan luar biasa telah menggunakan dua kekuatan senjata, yaitu memperkuat kebijakan nasional serta meningkatkan pemburuan koruptor ke luar negeri melalui saluran diplomasi dan perjanjian ekstradisi.

Namun, upaya tersebut belum memperlihatkan hasil karena mengembalikan uang yang dijarah koruptor di luar negeri tidaklah mudah.

Korupsi: White Collar Crime

Jika ditelusuri secara cermat, asal usul korupsi merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Pakar kriminolog Sutherland menyebutkan, kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki tiga dimensi perilaku manusia yang berkaitan. Pertama, suatu kejahatan dilakukan seseorang yang memiliki status sosial tinggi (tidak perlu apakah dia menduduki pekerjaan atau tidak).

Kedua, kejahatan dilakukan dengan mengatasnamakan organisasi. Terakhir, kejahatan dilakukan seseorang yang bertentangan dengan kepentingan organisasi. (Mike Maguire, The Oxford Hand Book of Criminology 1994: 363).

Korupsi sebagai kejahatan kerah putih tergolong suatu kejahatan yang melibatkan tindakan kolektif, juga dilakukan dalam modus kejahatan lintas negara.

Rumusan hukum kejahatan korupsi semakin jelas dan rinci ketika PBB mengesahkan Konvensi Antikorupsi (United Nation Anti Corruption Convention) 2003. Centre for International Crime Prevention merumuskan kejahatan korupsi sebagai tindakan pemberian atau penerimaan suap, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang, pertentangan kepentingan, memiliki usaha sendiri, tebang pilih, menerima komisi, nepotisme, atau sumbangan tidak sah.

Kejahatan korupsi menimbulkan ancaman ketidakstabilan, menghancurkan institusi-institusi, nilai-nilai demokrasi, nilai etika dan keadilan, serta menghancurkan kelangsungan pembangunan.

Komitmen Kebijakan Nasional

Dari pantauan sementara, dalam kebijakan nasional perang melawan korupsi pada era pemerintahan SBY, ada tiga komponen yang patut mendapatkan perhatian.

Pertama, sikap SBY untuk mempertahankan komitmen taat asas atau patuh peraturan hukum terkait dengan pengamalan terhadap kaidah konstitusi. Sebagaimana diamanatkan UUD 1945, pasal 27, semua orang berkedudukan sederajat di depan hukum.

Keteguhan hati Presiden SBY terlihat ketika tidak melakukan intervensi pada proses hukum kasus korupsi yang melibatkan anggota kabinet atau keluarga. Dalam suatu wawancara di Istana Jakarta, 29 September, presiden mengatakan, "Saya tak pernah menghalang-halangi pemeriksaan apa pun, termasuk terhadap menteri, termasuk juga terhadap besan saya, Aulia Pohan. Saya minta semua dituntaskan setepat-tepatnya agar rakyat mendapakan keadilan.''

Kedua, komitmen nasional juga ditunjukkan dengan kebijakan "pembersihan di birokrasi". Tidak kurang dari tujuh belas departemen dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah diproses secara hukum dalam tahun 2008.

Misalnya, Depatemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, Departemen Hukum dan HAM, Bea Cukai dan TNI. Adapun BUMN yaitu Kantor Pos, Pertamina, TVRI, BNI, BI, dan Tabungan Asuransi. Tidak luput dari pantauan, SBY memanggil Kepala Bappenas Paskah Suzeta dan Menteri Kehutanan Ka'ban untuk klarifikasi apakah menerima uang dari BLBI.

Ketiga, komitmen untuk mengusulkan perubahan atas UU No 28/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan pemberian sanksinya harus semakin berat. Dalam suatu wawancara, Senin 21 Juli di Jakarta, juru bicanya, Andi Mallarangeng, mengatakan Presiden SBY tak menutup kemungkinan dijatuhkannya hukuman maksimal, berupa hukuman mati bagi koruptor. Karena di Indonesia masih menganut hukuman mati.

Pandangan Presiden SBY tersebut tidak berlebihan mengingat dalam UU Korupsi, ancaman hukuman mati dimungkinkan bila tindakan korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan darurat dan/atau situasi bencana alam.

Jawahir Thontowi SH PhD, direktur Centre For Local Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan