Peradilan Soeharto Dihentikan

Pemerintah Kumpulkan Dokumen untuk Konstruksikan Penyelesaiannya

Setelah meminta saran dari pimpinan lembaga tinggi negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (10/5) malam, menyatakan, pemerintah tidak akan melanjutkan perkara mantan Presiden Soeharto di pengadilan, yang selama ini terhenti karena alasan kesehatan.

Namun, pemerintah masih mempertimbangkan bagaimana bentuk penghentian itu, apakah dengan amnesti, abolisi, dideponir (membekukan perkara), atau menghentikan perkara.

Keputusan itu dihasilkan setelah Presiden Yudhoyono semalam melakukan rapat konsultasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, dan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. Presiden didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, serta Ketua BPK Anwar Nasution.

Seusai rapat pukul 23.30, Widodo AS memberi keterangan kepada wartawan. Sedangkan tak satu pemimpin lembaga tinggi negara pun bisa dijangkau wartawan karena langsung pulang dari pintu depan Istana.

Widodo menyatakan, Penyelesaian status Pak Harto didasarkan pada pertimbangan politik, ekonomi, hukum, kemanusiaan, kesehatan, moral, preseden sejarah, sikap terhadap para mantan presiden sebelumnya, dan melihat emosi masyarakat.

Namun, menurut Widodo, untuk menyusun konstruksi penyelesaian dengan pertimbangan itu, diperlukan kelengkapan dokumen untuk memformulasikan. Dalam satu hari ini, kelengkapan dokumen diharapkan bisa dikumpulkan agar penyelesaian kasus Pak Harto bisa dirumuskan secara komprehensif, ujarnya.

Untuk itu, Presiden menugaskan beberapa menteri untuk melengkapi dokumen-dokumen itu. Dalam waktu sesegera mungkin keputusan akan dikeluarkan Presiden Yudhoyono, ujar Widodo.

Mensesneg Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, keputusan untuk mendeponir itu diberikan atas dasar kepentingan umum. Amnesti dan abolisi diberikan setelah ada pertimbangan DPR. Sedangkan penghentian perkara, sesuai KUHAP dilakukan jika tidak layak diadili karena pertimbangan kesehatan.

Ditanya apakah Soeharto harus meminta maaf kepada rakyat atas kesalahannya selama memerintah, Yusril menjawab, Saya sebagai saksi sejarah menyaksikan saat Presiden Soeharto mengundurkan diri, ia sudah meminta maaf. Dokumenter film itu juga akan dikumpulkan.

Tentang adanya Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang memerintahkan proses peradilan, termasuk Soeharto, Yusril kemarin siang menyatakan Tap MPR itu sudah dilaksanakan. Penyidikan sudah dilakukan. Bahkan, pengadilan telah membuka sidang. Namun Pak Harto tak dapat hadir karena kondisi kesehatannya, katanya.

Pengadilan telah memerintahkan tim dokter independen untuk memeriksa Soeharto. Dan hasilnya, berdasarkan ilmu kedokteran, beliau tak dapat sembuh dari penyakitnya, katanya.

Kemarin siang, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan, pimpinan MPR berharap ada terobosan hukum. Agar penyelesaian kasus Soeharto lebih elegan, harus dibarengi rehabilitasi nama baik Bung Karno, katanya.

Sebaliknya kalangan aktivis demokrasi menolak membebaskan Soeharto yang bisa melahirkan kompleksitas masalah moral dan demokrasi. Ini hanya menunjukkan ketidakbecusan penegak hukum, ungkap Hendardi dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta.

Mestinya, kejaksaan bertindak progresif mencari terobosan hukum. Dalih kemanusiaan cuma upaya menutupi ketidakmampuan menuntaskan kasus Soeharto. Amnesti tak akan menyelesaikan masalah dan malah menghancurkan kepercayaan pada hukum, kata Danang Widoyoko dari ICW. (JOS/idr/sut/har)

Sumber: Kompas, 11 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan