Peradilan; Menapis Bulir Bernas

Di depan 12 ketua pengadilan tinggi yang baru dilantik, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyampaikan permintaan maaf karena mengembalikan kiriman parsel kepada pengirimnya. Hal itu dilakukan karena sorotan publik terhadap lembaga negara cukup tinggi.

Di hadapan ketua pengadilan tinggi baru itu, Bagir mengemukakan, saat ini pengadilan adalah obyek yang banyak dibicarakan orang, terutama karena parsel itu. Ia mengatakan, beberapa komentar tentang itu seolah-olah hendak memojokkan hakim. Seolah yang menerima parsel di negeri ini hanya hakim, tuturnya.

Oleh karena itu, Bagir mengajak hakim menjauhkan diri dari kemungkinan menjadi bahan pergunjingan. Karena apa? Karena pengadilan itu termasuk yang mudah dibicarakan orang, enteng dibicarakan orang. Dan keentengan itu kadang-kadang dirasakan sebagai sesuatu yang tidak enak atau paling kurang kita rasakan sebagai suatu yang berlebihan, katanya.

Bahkan, di depan ketua pengadilan tinggi itu, ia mengutip ungkapan dua pemerhati hukum yang mengatakan hakim itu pencoleng, hakim itu maling. Betapa enteng orang mengucapkan itu pada kita, kata Bagir.

Kontekstual
Bagir layak mengungkapkan itu. Di tengah arus reformasi, kehadiran penegak hukum yang mumpuni, disegani karena memiliki integritas tinggi, memang keharusan. Dialah dasar batu pijak perbaikan kinerja pemerintahan dan birokrasi diletakkan. Masyarakat membutuhkan aparat yang bersih dan, untuk konteks Indonesia, itu dimulai dari dunia peradilan.

Mengapa? Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Rijana Hardjapamekas mengutarakan, dalam proses reformasi birokrasi, langkah pertama yang paling dapat dilakukan adalah mereformasi peradilan. Alasannya, jumlah tenaga di lingkungan tersebut hanya 17.000 orang, dana yang dibutuhkan pun tidak terlalu besar sekitar Rp 3 triliun.

Menurut Errry, menjadi sangat mungkin untuk menyejahterakan hakim yang dampak lanjutannya meningkatkan wibawa peradilan karena hakim dan para jaksa tak mempan disuap. Namun, sebelum itu dilakukan diperlukan sosok unggulan karena pada pundak hakim kebenaran dan keadilan diletakkan.

Seperti menampi bulir padi dan memilih yang bernas dari semua yang ada, Komisi Yudisial memperoleh mandat memilih hakim agung. Memilih mereka yang menjadi penjaga akhir proses peradilan di negara ini.

Awalnya, sebanyak 130 calon mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi. Komposisi calon kala itu adalah 54 orang berlatar belakang hakim karier, 40 orang di antaranya diusulkan dari Mahkamah Agung dan 14 berasal dari masyarakat. Komposisi calon lainnya adalah 40 orang berasal dari kalangan akademisi, delapan pengacara, tiga notaris, seorang jaksa, dan empat orang dari birokrat.

Dalam seleksi awal terjaring 88 calon. Mereka kemudian disaring kembali dalam proses seleksi kesehatan dan karya ilmiah serta menyisakan 50 calon untuk mengikuti tahap berikutnya, yaitu seleksi kepribadian. Sebelum proses berlangsung, seorang calon mengundurkan diri dan hanya 49 calon mengikuti tahap tersebut. Hasilnya, sembilan calon lolos mengikuti tahap berikutnya, yaitu wawancara.

Wakil Ketua Komisi Yudisial Thahir Saimima mengungkapkan, proses seleksi kepribadian itu dilakukan untuk memperoleh sosok calon hakim yang memiliki karakter dan moralitas yang diharapkan. Bobot atas proses ini cukup tinggi, yaitu 60 persen.

Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Agung Prof Mustofa Abdullah mengemukakan, dari sembilan calon itu, tidak satu pun calon yang lolos dengan hasil baik atau layak disarankan menjadi hakim agung. Kemudian, dari proses wawancara terbuka lolos enam nama calon hakim agung.

Sosok Achmad Ali menjadi sorotan. Selain statusnya sebagai tersangka, terungkap adanya pesan singkat yang dikirim Achmad Ali kepada seorang jenderal dan meminta dukungan untuk menjadi calon hakim agung dan akan memberikan kompensasi jika dirinya terpilih. Achmad Ali mengakui mengirimkan pesan singkat itu, tetapi ia menyangkal menawarkan kompensasi dan meminta dukungan.

Senin (6/11), Komisi Yudisial meloloskan enam calon hakim agung dengan segala kontroversinya ke DPR. Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqqodas menegaskan, Achmad Ali terpilih melalui voting. Lima anggota Komisi Yudisial mendukung, dua lainnya menolak.

Ketika pers mempersoalkan, Busyro Muqqodas menjelaskan, tim investigasi Komisi Yudisial berkesimpulan tidak ada indikasi pelanggaran terkait dengan dugaan korupsi atas diri Achmad Ali. Memang menjadi pertanyaan, apakah Komisi Yudisial boleh memasuki wilayah itu? Status tersangka adalah fakta hukum! kata Benny Harman, anggota Komisi III DPR.

Praktisi hukum Bambang Widjojanto, yang ikut terlibat dalam proses seleksi awal, menyatakan, sedari awal materi calon hakim agung itu kurang bermutu. Beberapa calon tampak kurang mengusai materi yang ditanyakan. Selain itu, beberapa calon di mata publik memiliki catatan kurang menguntungkan. Kondisi itu tentu tidak menguntungkan bagi Komisi Yudisial sendiri dan tentunya bagi Mahkamah Agung.

Busyro mengemukakan, pihaknya siap mengevaluasi proses tersebut. Namun, kembali pada harapan Bagir Manan bahwa sebisa mungkin para hakim menjauhkan diri mereka dari pergunjingan karena saat ini mereka tengah mendapat sorotan.(B Josie Susilo Hardianto dan Vincentia Hanny S)

Sumber: Kompas, 8 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan