Penyumpahan Saksi Pembuatan BAP Tahap Penyidikan
Hak untuk secara bebas memberikan keterangan adalah salah satu hak yang paling penting dan mutlak harus dimiliki oleh seorang, baik sebagai seorang tersangka, terdakwa, ataupun saksi. Karena itu menjadi kewajiban bagi setiap aparat, kalau mau disebut sebagai aparat penegak hukum, menggunakan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) untuk memenuhi hak tersebut.
Makna dari hak secara bebas memberikan keterangan adalah dalam memberikan keterangan, tersangka, terdakwa, atau saksi, baik kepada aparat penegak hukum maupun kepada penasihat hukum, tidak terdapat hambatan.
Hambatan itu bisa dalam bentuk tekanan, pemaksaan, pengaruh (daya paksa), atau kegagalan teknologi dalam proses pemberian atau penyampaian keterangan.
Secara garis besar, dua sumber (potensi) yang dapat mengakibatkan tersangka, terdakwa, atau saksi menjadi tidak bebas atau berkurang kebebasanya memberikan keterangan.
Pertama, yang bersumber dari dalam diri tersangka, terdakwa, atau saksi. Mulai dari persoalan hambatan kesehatan jasmani, misal sakit atau berhubungan dengan hambatan kesehatan rohani, sakit jiwa (gila), ketakutan, kekhawatiran, usia sampai dengan persoalan pengetahuan yang dimiliki.
Kedua, yang berasal dari luar diri tersangka, terdakwa, atau saksi. Mulai dari pengaruh media massa, paksaan, tekanan dari aparat (bukan aparat penegak hukum), pembatasan untuk mendapat bukti (alat bukti dan barang bukti) dan mengetahui atau memahami kenapa ia diajukan ke persidangan sampai dengan pelaksanaan penyumpahan.
Ketidakbebasan
Apakah memang benar penyumpahan menimbulkan akibat ketidakbebasan tersangka, terdakwa, atau saksi dalam memberikan keterangan secara bebas?
Bagi seorang tersangka atau terdakwa adalah pasti ya. Karena itulah mengapa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (hukum pidana formil) tidak akan ada satu pun pasal yang mengatur penyumpahan terhadap tersangka atau terdakwa sebelum menyampaikan keterangannya.
Di sini penyumpahan terhadap tersangka atau terdakwa sifatnya adalah terlarang, karena dinilai akan mengurangi atau menghilangkan hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa untuk memenangkan perkaranya dengan segala cara.
Hukum memberikan kesempatan pada dirinya untuk berbohong, setengah berbohong ataupun berkata jujur atau tidak berbicara sepatah kata pun itu adalah haknya dan siapapun tidak dapat mengganggu gugat. Karena prinsip yang dijamin oleh hukum adalah tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Kondisi yang demikian haruslah dipahami dan hal itu ditempatkan sebagai bagian dari kesempatan yang diberikan oleh hukum bagi- nya untuk melakukan pembelaan.
Karenanya, sangat perlu dipahami oleh setiap aparat penegak hukum yang bertindak sebagai pemeriksa terhadap tersangka atau terdakwa, tidak ada gunanya dari sisi hukum untuk memaksa tersangka atau terdakwa memberikan pengakuan. Karena walaupun seorang tersangka atau terdakwa ''menyumpahi dirinya sendiri'', artinya tanpa diminta dia melakukan sumpah sendiri, dengan maksud menguatkan apa yang dia terangkan.
Itu pun kalau dinilai oleh hukum harus dinilai tidak ada tempatnya di dalam sistem pembuktian. Kalau toh itu dilakukan dan kemudian diberikan penilaian, tempatnya adalah pada bagian faktor-faktor yang mungkin dapat meringankan hukuman kalau nantinya ia dijatuhi hukuman.
Sehingga kalau aparat penegak hukum melakukan tindakan meminta tersangka atau terdakwa memberikan pengakuan atau keterangan untuk mengakui dan bukan keterangan terdakwa, maka itu pasti bukan untuk kepentingan hukum akan tetapi untuk kepentingan pribadi aparat, yaitu guna memperoleh ''keuntungan'' bagi dirinya sendiri.
Makanya, keuntungan dapat mengandung banyak arti menunjukkan dirinya adalah pemeriksa dan Anda yang diperiksa.
Aparat
Tetapi sekali lagi, tidak disadari bahwa apa yang telah dikerjakan di mata hukum tidak mempunyai nilai atau bahkan dapat dikatakan sebagai sampah hukum. Kalau hal tersebut tetap dilakukan, dirinya sendiri telah menempatkan bukan sebagai aparat penegak hukum tapi hanya aparat belaka.
Aparat identik dengan alat, yang tidak mempunyai akal, kehendak, nurani dan tergantung kepada penggunanya saja.
Bagaimana posisi hukum sumpah terhadap seorang saksi? Kalau terhadap tersangka dan terdakwa sumpah ditempatkan sebagai tindakan yang terlarang dan bahkan harus dikatakan tidak mempunyai nilai dalam pembuktian.
Maka, berbeda posisi sumpah bagi saksi. Pada seorang saksi diharuskan untuk memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang dia lihat, dengar dan atau alami sendiri tentang suatu peristiwa hukum yang kemudian menempatkan dirinya menjadi saksi.
Ia lihat, dengar dan alami sendiri tentunya harus didukung dengan apa yang menjadi alasan atau bukti dari apa yang diterangkan yang berasal dari apa yang ia lihat, dengar dan dialaminya.
Untuk hal tersebut karena manusia pada umumnya telah mempunyai ''modal dasar'' bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri ('subjektif) sehingga kemudian harus terdapat sarana ''pemaksa'' untuk menjamin bahwa dia tidak akan bertindak sesuai dengan modal dasarnya yang sulit untuk objektif dan jujur tersebut. Sarana ''pemaksa'' tersebut penyumpahan sebelum atau sesudah si saksi memberikan keterangan.
Bahkan hukum pun memberikan sanksi apabila saksi telah memberikan keterangan di bawah sumpah dan ternyata keterangannya adalah terbukti palsu! Lihatlah apa yang diatur di dalam Pasal 242 KUHP, yaitu Barang siapa dalam keadaan di mana UU menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Persoalan penting pertama untuk diperhatikan terlebih dahulu dalam persoalan ini adalah kapan seorang saksi akan memberikan keterangan di atas sumpah? Pasal 160 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana ''bukan KUHAP'' menyatakan, sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya.
Pasal 160 ayat (3) ini berada di Bab XVI Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan. Karena berada di bagian pemeriksaan persidangan, maka harus diartikan bahwa ternyata pemeriksaan terhadap saksi untuk meminta keterangan di atas sumpah adanya hanya di dalam acara pemeriksaan di sidang pengadilan!
Apakah memungkinkan pemeriksaan saksi untuk meminta keterangan di atas sumpah diberikan di luar acara pemeriksaan di sidang pengadilan misalkan di dalam tahap penyidikan?
UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana khususnya di dalam Pasal 162, (1) Jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. (2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang di ucapkan di sidang.
Dari isi pasal tersebut dapat dipetik pengertian: Meminta keterangan saksi di tahap penyidikan hukumnya adalah tidak di bawah sumpah, kecuali berarti dapat diberikan keterangan di bawah sumpah, jika di dapatkan alasan secara limitatif.
Pertama, penyidik memiliki kekhawatiran yang didukung dengan bukti yang kuat, bahwa setelah saksi memberikan keterangan, dia akan meninggal dunia.
Kedua, karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang. Ketiga, tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman. Keempat atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara.
Selain alasan tersebut dalam Pasal 162 (1), sekali lagi, terlarang hukumnya untuk meminta keterangan saksi dengan cara di sumpah. Apabila aparat penyidik melakukan pemeriksaan untuk meminta keterangan terhadap saksi dengan cara disumpah terlebih dahulu yang tidak sesuai dengan Pasal 162 ayat (1) di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan seperti itu dapat digolongkan sebagai pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh UU untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi dengan cara yang melawan hukum.
Akibatnya, penyumpahan yang dilakukan terhadap saksi tersebut dapat dinilai sebagai tindakan yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan hak untuk secara bebas dalam memberikan keterangan sebagai salah satu hak yang paling penting yang mutlak harus dimiliki oleh seseorang sebagai saksi.
Unsur
Persoalan penting kedua yang harus diperhatikan terkait dengan penerapan Pasal 242 ayat (2) KUHP untuk perkara pidana adalah terkait dengan adanya unsur ''diberikan dalam perkara pidana dan merugikan tersangka atau terdakwa''. Bicara hukum pidana bicara unsur. Satu unsur saja tidak terpenuhi atau tidak terbukti berakibat keseluruhan pasal tidak terbukti.
Pengertian yang dikandung dari unsur dan merugikan tersangka atau terdakwa, adalah keterangan di atas sumpah tersebut baru dapat dikatakan sebagai keterangan palsu di atas sumpah, apabila atau syaratnya adalah dengan pemberian keterangan tersebut berakibat menimbulkan kerugian terhadap tersangka atau terdakwa.
Dengan kata lain, kerugian tersebut hanya ada pada tersangka atau terdakwa, tidak pada pihak lain! (korban, aparat penegak hukum termasuk di dalamnya adalah penyidik, masyarakat atau proses penegakan hukum itu sendiri).
Karena dengan keterangan yang palsu tersebutlah tersangka atau terdakwa akan dirugikan karena dia dalam posisi terancam akan menjalankan hukuman atas tindak pidana yang tidak ia lakukan karena didasarkan atas keterangan di atas sumpah yang palsu.
Sehingga kalau kemudian terdapat kasus, saksi diperiksa oleh penyidik untuk dimintai keterangannya di bawah sumpah dan ternyata tidak dilakukan sesuai dengan syarat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 162 UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana maka nilai keterangan saksi dalam BAP tersebut adalah batal demi hukum.
Apabila sangkaan melanggar Pasal 242 ayat (2) KUHP dan ternyata tidak memenuhi semua unsur sebagaimana yang ada di dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP, maka sangkaan tersebut adalah tidak tepat dan harus dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kalau perkara masih berada di tahap penyidikan. SP3 (Surat Perintah Penghentian Penuntutan) apabila perkara ada dalam tahap penuntutan. Harus diputus bebas apabila perkara sudah sampai di tahap peradilan.(Rudy Satriyo Mukantardjo, adalah staf pengajar hukum pidana FH UI)
Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 29 April 2005