Penyumbang Yudhoyono-Mega Diduga Fiktif [28/07/04]

Sumber dana kampanye duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi pada putaran pertama pemilihan presiden dan wakil presiden patut dipertanyakan. Kedua pasangan itu diduga mencantumkan identitas sejumlah penyumbang fiktif pada laporan untuk Komisi Pemilihan Umum.

Kesimpulan itu merupakan hasil penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TI), dan Koran Tempo di sejumlah kota terhadap laporan dana kampanye kedua kandidat. Penelusuran dilakukan khusus terhadap mereka yang bakal mengikuti putaran kedua pemilihan presiden.

Wakil Koordinator ICW Lucky Djani menyatakan, pencantuman penyumbang fiktif itu merupakan upaya para kandidat untuk menutupi cukong yang sebenarnya. Tindakan itu ia nilai sebagai masalah serius. Jika terbukti fiktif, mereka bisa didiskualifikasi. Karena itu, kami akan melaporkan masalah ini ke Panwaslu, katanya kemarin.

Dalam laporan yang diserahkan ke KPU tiga pekan silam, duet Mega-Hasyim mencantumkan dana sebesar Rp103.096.200.000. Yudhoyono-Kalla melaporkan kocek senilai Rp 60.385.966.676. Laporan itu telah diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU, yakni Kantor Tjahjo, Machdjud Modopuro, dan Rekan untuk Yudhoyono; Kantor Baehaqi dan Rekan untuk Mega. Menurut jadwal, KPU akan mengumumkan hasilnya hari ini.

Dari hasil penelusuran terlihat bahwa kedua kandidat diduga melanggar batas maksimal sumbangan yang diizinkan. Mereka memecah penyumbang menjadi sejumlah nama. Hal ini bisa dilihat dari dua atau lebih penyumbang perorangan yang tinggal sealamat, atau penyumbang yang tercantum dalam kategori perorangan dan badan usaha sekaligus.

Dalam laporan dana Yudhoyono, misalnya, tercantum penyumbang bernama Rustam Effendi (ditulis beralamat di Jalan Penguin Raya, Pondok Betung) dan Husni Effendi (ditulis beralamat di Jakarta). Menurut ICW, yang melakukan penelusuran melalui buku telepon maupun lokasi, nama Rustam diduga rekaan, karena alamat yang dicantumkan ternyata milik Husni Effendi.

Temuan yang sama terjadi pada penyumbang Mega di Lampung. Dalam kategori perusahaan, misalnya, tertulis PT Wilangsari yang menyumbang Rp 350 juta. Alamat yang tercantum tidak jelas dan hanya ditulis Bandar Lampung. Ternyata, tak ada nama perusahaan yang sama terdaftar di Kamar Dagang dan Industri maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat.

Ahsan Jamet Hamidi, Koordinator Nasional Pemantauan Dana Kampanye TI, berpendapat, pencantuman penyumbang fiktif itu mengindikasikan bahwa dana para calon menyalahi aturan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas yang disiapkan KPU ternyata masih memungkinkan terjadinya manipulasi, tuturnya.

Secara khusus, TI mencatat alamat penyumbang Yudhoyono-Kalla yang mayoritas berada di Sulawesi Selatan. Selain itu, pasangan ini mencantumkan total sumbangan di bawah Rp 5 juta--jumlah sumbangan yang tidak wajib dilaporkan--mencapai Rp 17,3 miliar. Dengan asumsi setiap penyumbang menyetor Rp 5 juta, pasangan ini berhasil mengumpulkan 3.460 penyumbang dalam satu bulan. Ini meragukan, kata Jamet.

Juru bicara tim Yudhoyono, Mayjen (Purn.) Robik Mukav, tak membantah atau membenarkan laporan itu. Ia hanya menjelaskan, strategi pencarian dana timnya tidak berstruktur, tetapi terkoordinasi. Di daerah, katanya, dibentuk kelompok pencari dana yang hanya bertanggung jawab kepada koordinator daerah masing-masing. Tanggung jawab pada koordinator itu, katanya.

Bendahara tim kampanye Mega-Hasyim, Sony Keraf, membantah temuan ini. Ia menjamin sumber dana maupun laporan keuangan yang diserahkan ke KPU tidak melanggar aturan. Ia memang mengakui bahwa timnya menemui kesulitan untuk mengumpulkan seluruh berkas sehingga laporan pun tak sempurna. Tapi, saya yakin tak ada persoalan. Kalaupun ada, kecil-kecil saja, tuturnya.

Keraf justru wanti-wanti agar kesalahan kecil ini tak berdampak besar sehingga membatalkan proses pencalonan Mega-Hasyim. Ia mengaku tak bisa membayangkan jika Mega yang didukung lebih 20 juta suara gagal karena soal sepele dan tidak fatal seperti ini. budi s/ecep/cahyo/agus r/purwanto/istiqomatul

Sumber: Koran Tempo, 28 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan