Penyikapan Pembahasan RUU Mahkamah Agung di DPR

Penyikapan Pembahasan RUU Mahkamah Agung di DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi III DPR, sejak awal September 2008 telah melakukan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA).  Setelah melakukan rapat kerja dengan pemerintah, Senin depan (15/Sep./2008) Komisi III akan membentuk Panita Kerja (Panja) khusus yang membahas RUU MA. Dijadwalkan proses pembahasan ini akan diselesaikan sebelum masa sidang berakhir (24 Oktober 2008). 

Klik disini RUU MA versi 25 September 2008

 

Namun terdapat beberapa hal penting untuk dicermati dan dipersoalkan dalam proses legislasi (penyusunan) RUU MA tersebut. 

 

Pertama, proses pembahasan RUU MA yang dilakukan Komisi III DPR sejauh ini terkesan dilakukan tertutup atau ditutup-tutupi. Pada satu sisi, publik tidak pernah mendapatkan informasi jadwal proses pembahasan RUU MA dilakukan. Dan di sisi lain, Komisi III DPR  juga tidak pernah membuka ruang publik lebih luas untuk memberikan masukan terhadap subtansi yang sedang dibahas. Proses pembahasan yang dilakukan secara tertutup selain menimbulkan kecurigaan juga berdampak pada menurunya citra DPR dimata masyarakat.

 

Selain itu patut dipertanyakan mengenai motif Komisi III DPR yang lebih memprioritaskan pembahasan RUU MA daripada RUU yang lain seperti RUU Komisi Yudisial dan RUU Mahkamah Konstitusi. Muncul kekhawatiran pembahasan UU MA lebih diutamakan karena adanya keberpihakan dari Komisi III kepada MA. Hal ini juga didasarkan fakta bahwa sebagian anggota Komisi III DPR memiliki latar belakang advokat.

 

Kedua, secara subtansi dalam RUU MA terdapat beberapa hal krusial yang potensial dapat menjadi masalah dikemudian hari. Ketetuan ini antara lain:

 

a. Perpanjangan usia pensiun hakim agung

Pemerintah mengusulkan bahwa usia pensiun hakim agung yaitu 70 tahun. Usulan ini sudah selayaknya ditolak dengan beberapa alasan. 

 

Pertama, angka harapan hidup dan tingkat kesehatan. Menurut data statistik dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan dari Depkes tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se ASEAN yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Artinya diatas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia menurun karena dipengaruhi banyak hal.

 

Kedua, usia 70 tahun tergolong usia tidak produktif. Menurut BPS, usia penduduk dikelompokkan menjadi 3 yaitu belum produktif (0-14 tahun), produktif (15-65) dan tidak produktif 66 keatas. Berdasarkan kategorisasi itu, jelas bahwa hakim agung dengan usia 70 tahun termasuk yang tidak produktif. Dihubungkan dengan beban perkara MA saat ini, usia hakim agung yang terlalu tua tentu akan sangat menghambat proses percepatan reformasi MA dari pengurangan tumpunkan perkara.

 

Saat ini, tunggakan di MA ditambah perkara yang masuk mencapai 20 ribu perkara. Dengan beban kerja menyelesaikan tunggakan perkara di MA yang berat dan menyangkut, nasib masyarakat luas, tentu usia pensiun 65-67 tahun sudah merupakan usia maksimal.

 

Ketiga, perbandingan dengan profesi atau lembaga lainnya. Alasan penetapan angka 70 tahun tidak jelas, dan lebih tinggi dibanding sejumlah jabatan publik lainnya.

Jabatan

Usia Pensiun

Ketua & Wk. Ketua PN

62 tahun

Ketua & Wk. Ketua PT

65 tahun

Hakim MK

67 tahun

Polisi dan Jaksa

58-60 tahun

PNS

56 tahun

 

Upaya memperpanjang usia pensiun ini pun berbahaya bagi  semangat pembersihan MA dari Mafia Peradilan dari perspektif REGENERASI. Semakin lama kekuatan status quo bertahan di MA,maka semakin sulit melakukan reformasi di MA.

 

Isu delegitimasi KY pun menjadi relevan dibicarakan. Bila usia diperpanjang menjadi 70 tahun, tentu hingga 3-5 tahun mendatang KY tidak melakukan seleksi hakim agung. Atau, pantas publik khawatir, rencana perpanjangan usia pensiun ini berada dibalik upaya memperpanjang masa jabatan Ketua MA saat ini, mengingat beberapa kali bahkan Bagir Manan telah mencoba memperpanjang usia pensiunnya sendiri. Mengangkat diri sendiri dengan SK sendiri.

 

Poin penting yang patut diperhatikan, kami mengusulkan diaturnya pembatasan masa jabatan sebagai hakim agung di MA yaitu selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa masa jabatan dalam RUU MA. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya regenerasi yang berlanjut di MA sekaligus bentuk pengawasan atas kinerja, komitmen dan integritas masing-masing Hakim Agung. Di tataran praktik, konsep pembatasan jabatan ini sudah berlaku efektif pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 22 UU 24/2003 tentang MK).

 

b. Seleksi Hakim Agung

Pasal 8 ayat (2a) RUU menyebutkan " Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh DPR 1 (satu) orang dari 3 nama calon untuk setiap lowongan" Pada prakteknya selama dua tahun terakhir, KY sendiri mengalami kesulitan untuk mendapatkan calon hakim agung yang memenuhi kriterai yang ditetapkan oleh Undang-Undang maupun kriteria bersih,bekualitas dan berintegritas. Oleh karena itu standar perbandingan calon Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dengan yang dipilih DPR, idealnya adalah 2:1 ( 2 nama calon untuk memilih 1 orang sebagai hakim agung).

 

c. Pengawasan hakim

Pada pasal 32 ayat (1) draft RUU MA, disebutkan "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman." Ketentuan tersebut dapat menimbulkan intepretasi bahwa MA memegang kewenangan pengawasan tertinggi, sehingga pengawasan KY lebih rendah dari pengawasan MA atau dalam posisi sub ordinat atau supporting organ. Pasal ini tidak boleh mengurangi kewenangan konstitusional KY yang dijamin UUD 1945.

 

Untuk itu, dalam penjelasannya harus dijelaskan bahwa kedudukan KY dan MA adalah sejajar sesuai dengan perubahan UUD 1945.

 

Pasal-pasal mengenai pengawasan dalam RUU MA masih menimbulkan dualisme pengawasan antara KY dan MA sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Misalkan antara pasal 32 A ayat (1) dan ayat (2).

 

RUU MA juga membatasi kewenangan KY untuk melakukan pengawasan pelaksanaan tugas yudisial yang diatur dalam pasal 32 ayat (1a). Secara inplisit, pasal tersebut tidak memperbolehkan KY melakukan pengawasan dengan melakukan pemeriksaan putusan.  

 

Berdasarkan uraian diatas bersama ini kami meminta Komisi III DPR:

1.      

Membahas RUU MA secara terbuka dan partisipatif.

2.      

Komisi III DPR harus membuka ruang dan mendengar masukan publik, termasuk Komisi Yudisial.

3.      

Menolak pasal-pasal yang mengatur ketentuan tentang:

a.      

Perpanjangan usia pensiun Hakim Agung hingga 70 tahun.

b.      

Mempersulit proses seleksi calon Hakim Agung.

c.       

Pembatasan kewenangan konstitusional pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim dan Hakim Agung.

 

 

Jakarta, 10 September 2008

  

Indonesia Corruption Watch – LBH Jakarta

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan