Penyidik Kantongi Calon Tersangka; Kasus Kredit Macet Lativi

Tim Penyidik Kejaksaan Agung semakin yakin bahwa kredit macet PT Lativi Media Karya Rp 328,5 miliar di Bank Mandiri berbau korupsi. Karena semakin yakin ada pelanggaran hukum, penyidik sudah menyiapkan nama tersangka.

Siapa calon tersangka itu? Koordinator Tim Penyidik I Ketut Murtika mengatakan, pihaknya tidak bisa menyebut identitas calon tersangka itu karena penyidik perlu mendalami lebih detail bahwa perbuatannya benar-benar memenuhi unsur melawan hukum.

Hasil pemeriksaan kami (penyidik) belum cukup seratus persen sehingga kami butuh waktu untuk mengumumkannya. Calon tersangkanya pasti ada dan kemungkinan besar dari manajemen PT Lativi, kata Ketut Murtika seusai mengikuti rapat ekspos di lantai II Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, kemarin.

Ekspos perkara itu disaksikan Sekretaris Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus Chairuman Harahap di lantai II Gedung Bundar. Hadir dalam acara tersebut belasan tim penyidik dan auditor BPK. Kapuspenkum R.J. Soehandoyo juga terlihat hadir.

Murtika menjelaskan, tim penyidik perlu waktu sepekan lagi untuk memperdalam hasil penyidikan sebelumnya, khususnya kesaksian jajaran direksi PT Lativi. Penyidik tinggal memanggil sejumlah saksi ahli dari Bank Indonesia (BI) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Saksi dari BI diperlukan kesaksiannya mengingat ada potensi penyimpangan pengajuan kredit dari jajaran direksi PT Lativi dan Bank Mandiri, dengan tidak mematuhi ketentuan PBI (Peraturan BI), beber Murtika yang juga direktur penanganan HAM berat Kejagung itu. Sedangkan saksi dari BPK diperlukan untuk didengar keahliannya setelah mengaudit adanya penyimpangan administrasi dalam pengajuan kredit PT Lativi. Kedua pejabat BI dan BPK dijadwalkan pemanggilan pekan depan.

Apa dasar tim penyidik bisa memastikan ada calon tersangka? Murtika menjelaskan, tim penyidik menemukan indikasi kuat adanya unsur melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dalam kasus tersebut. Salah satunya diabaikannya prinsip kehati-hatian dengan tidak dipunyainya neraca pembukuan sebelum 31 Meret 2001 sebagai persyaratan pengajuan kredit. Padahal, neraca pembukuan merupakan persyaratan utama untuk menilai kelayakan permohonan kredit dikabulkan. Itu sebagai alat analisis, jelas jaksa yang pernah menangani kasus HAM mantan Gubernur Timtim Abilio Soares itu.

Menurut dia, permohonan kredit untuk pembiayaan industri pertelevisian (membangun stasiun Lativi) yang diajukan PT Lativi harus memenuhi perbandingan modal 65 : 35. Rinciannya, 65 persen modal disediakan pemerintah, sedangkan sisanya adalah PT Lativi selaku investor. Nah, dengan tidak adanya neraca pembukuan, analis kredit di Bank Mandiri kesulitan mengalisis kelayakan sebuah permohonan kredit. Tetapi, dalam kenyataannya, kredit yang diajukan PT Lativi tetap diluluskan, ungkap Murtika.

Praktis, lanjut Murtika, manajemen PT Lativi dan Bank Mandiri dinilai tidak memenuhi prosedur dalam pengajuan kredit. Analisis kredit di Bank Mandiri dipersalahkan karena penanganan kredit itu juga membuat analisis menggunakan prinsip dasar 5C, beber Murtika. Prinsip kehati-hatian 5C diterapkan sesuai ketentuan PBI (Peraturan BI) No 1/2000 yang harus menjadi prosedur setiap pengajuan kredit di setiap bank.

Bagaimana komentar manajemen PT Lativi? Dihubungi tadi malam, Wakil Dirut PT Lativi Harun Kussuwardhono, tidak mau berkomentar. Telepon selulernya bernomor 0811109xxx dimatikan.

Tetapi, sesudah menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar beberapa waktu lalu, Harun membantah bahwa kreditnya di Bank Mandiri dalam keadaan macet. Menurut Harun, kredit PT Lativi di Bank Mandiri telah direstrukturisasi sejak Desember 2004.

Harun kala itu juga menjelaskan, pada intinya prosedur dan penggunaan kredit Rp 328,5 miliar dari Bank Mandiri telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PT Lativi juga telah mengusahakan dana sendiri untuk kebutuhan dana modal kerja Rp 248 miliar. Lebih lanjut, Harun menegaskan bahwa nilai jaminan kredit juga sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam rangka proses restrukturisasi, PT Lativi telah menyerahkan jaminan tambahan berupa aset tanah seluas 54,5 hektare dengan nilai Rp 67 miliar. Jaminan itu diajukan untuk jaminan penambahan fasilitas kredit PT Lativi. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 2 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan