Penyelidikan Kasus BLBI; Kwik Kwian Gie Setuju Megawati Dipanggil
Untuk kali ketiga Kwik Kian Gie kembali menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar kemarin. Untuk kali kesekian juga, mantan kepala Bappenas itu menyebut sejumlah mantan pejabat yang layak dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kebijakan penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Setelah mantan Menteri Keuangan Boediono, kemarin Kwik menyebut mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Ya, kalau sekadar memperluas dan menambah wacana pencerahan, saya kira (Mega, sapaan Megawati) perlu dimintai keterangan. Nanti bisa ditanya latar belakang kebijakan BLBI, kata Kwik seusai diperiksa kemarin.
Menurut Kwik, sesuai sistem pemerintahan presidensiil, keputusan tertinggi sebuah kebijakan ada di tangan presiden. Meski demikian, presiden mendapat masukan dari menteri-menteri terkait. Untuk mekanisme penerbitan SKL (surat keterangan lunas, Red), Mega mendapat masukan dari mantan Menkeu Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-jakti, dan Men BUMN Laksamana Sukardi.
Kwik mengakui, dalam setiap rapat kabinet dirinya selalu memprotes rencana penerbitan SKL. Saya pernah berdebat tiga jam, tetapi saya kalah karena dikeroyok (menteri lain), ujar Kwik. Politikus PDIP itu juga merasa heran, meski dekat dengan Mega, tetap saja presiden kala itu menyetujui masukan Boediono dkk.
Semasa dua kali duduk di kabinet (Abdurrahman Wahid dan Mega), Kwik mengaku hanya sekali mendapat dukungan. Itu terjadi semasa Menkeu dijabat Bambang Soedibyo, jelas Kwik. Setelah Bambang diganti di masa Presiden Megawati, Kwik terpaksa sendirian menolak kebijakan penerbitan SKL.
Menurut Kwik, dirinya menolak penerbitan SKL karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI. Ini berdampak pada proses penjualan aset eks-obligor BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender.
Misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004 silam. Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp 53 triliun. BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Saat dihitung, aset-aset tersebut setara dengan nilai BLBI. Namun, saat dijual hanya laku Rp 20 triliun, jelas Kwik. Proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF. Atas tekanan tersebut, Boediono dkk tidak berkutik. Bahkan, proses penjualan dilaksanakan tanpa tender. Calon pembeli BCA sudah ditunjuk, yakni Farallon dan Stanchart.
Menurut Kwik, jika tanpa intervensi IMF, harga jual BCA tentu lebih tinggi. Timing-nya yang salah. Saat krisis moneter, aset-aset (milik Salim) tersebut bagus-bagus. Namun, karena menjualnya tergesa-gesa, harganya jatuh, jelas Kwik. Dan, sekarang terbukti, tiga tahun berselang, harga BCA justru berlipat-lipat dan nilainya bisa mencapai ratusan triliun.
Kwik menegaskan, semua kalangan mengakui aset-aset eks-Salim punya keunggulan. Sebab, Salim mendapat dukungan Soeharto ketika membesarkan perusahaannya. Ini berbeda dengan aset-aset milik konglomerat lain yang umumnya nilainya jatuh saat dijual, jelas Kwik.
Di tempat sama, Direktur Penyidikan M. Salim mengatakan, pernyataan Kwik akan didalami tim jaksa penyelidik. Kejaksaan tak dapat langsung meminta keterangan sejumlah menteri terkait, bahkan Mega, atas pernyataan Kwik. Semua data perlu dikaji dulu. Kami tentu akan menganalisis dulu, jelasnya.
Pada pemeriksaan kemarin, Kwik menyerahkan segepok dokumen penjualan BCA. Salah satunya data tentang penjualan BCA seharga Rp 10 triliun. Padahal, di dalamnya ada tagihan pemerintah Rp 60 triliun.
Selain Kwik, mantan Menkeu Bambang Soebianto menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar. Bambang diperiksa koordinator tim jaksa Sriyono. Mantan kepala Kejari Blitar itu mencecar Bambang dengan sejumlah pertanyaan terkait BLBI yang dikucurkan kepada BCA. Seusai pemeriksaan, Bambang menolak berkomentar. Pria berambut putih itu langsung meninggalkan wartawan tanpa melayani pertanyaan. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 7 September 2007