Penyelewengan Pajak Diduga Capai Rp40 Triliun
Pengamat ekonomi Faisal Basri menduga telah terjadi penyelewengan pajak hingga Rp40 triliun oleh Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Dirjen Pajak Hadi Purnomo membantah dugaan itu.
Usai seminar tentang perpajakan di Jakarta, kemarin, Faisal mengungkapkan, angka penyelewengan Rp40 triliun itu merupakan selisih dari target dan potensi penerimaan pajak tahun lalu. Menurut dia, target penerimaan pajak dapat mencapai Rp390 triliun, atau 15% dari produk domestik bruto (PDB) yang sebesar Rp2.600 triliun.
Oke, tidak usah Rp390 triliun. Taruhlah bisa mencapai Rp300 triliun saja, berarti sudah ada selisih sekitar Rp40 triliun, karena target penerimaan pajak cuma Rp256,6 triliun. Selisih angka itu tidak masuk kas negara, melainkan tercecer dan diambil oleh aparat pajak, dinikmati pengusaha, dan akhirnya menguap. Istilahnya, ada weight debt loss, papar Faisal.
Karena itu, kata dia, reformasi kewenangan Dirjen Pajak merupakan langkah nyata untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak negara serta meminimalisasi penyelewengan penerimaan pajak. Kalau perlu, katanya, Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan Cukai, dan Kapolri diganti sebagai bentuk langkah nyata reformasi lembaga perpajakan.
Kalau mau melakukan reformasi, salah satunya adalah dengan cara mengganti pejabat kelas atas itu, ujarnya. Selain itu, fungsi Direktorat Jenderal Pajak sebagai pihak perencana, pelaksana, hingga pengawasan harus segera dipisahkan untuk menumbuhkan mekanisme check and balance (kontrol). Jika tidak, peluang untuk berbagai tindak penyelewengan masih terbuka lebar.
Menanggapi hal itu, Dirjen Pajak Hadi Purnomo justru mempertanyakan istilah penyelewengan tersebut. Ia meminta dijelaskan lebih lanjut mengenai potensi penyelewengan yang disebutkan itu.
Bagaimana sistem perhitungannya, apakah ada potensi yang hilang, atau ada kebocoran. Kalau memang ada kasusnya, tolong kasih masukan kepada kami, kata Hadi Purnomo ketika dihubungi Media, tadi semalam.
Menurut dia, harus ada kesamaan persepsi tentang arti potensi pajak yang hilang dan penyelewengan pajak. Potensi pajak yang hilang terjadi karena sejumlah sebab, antara lain karena tidak ada pelaporan dan tidak adanya akses Ditjen Pajak terhadap deposito.
Kami tidak dapat memeriksa apakah deposito itu berasal dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak atau belum. Jadi, itu berbeda dengan penyelewengan yang merupakan tindak kesengajaan, jelas dia.
Penerimaan pajak
Dalam kesempatan itu Faisal juga menyinggung soal target penerimaan pajak tahun ini. Menurut dia, target penerimaan masih bisa dinaikkan menjadi Rp390 triliun, dari Rp273 triliun yang diajukan pemerintah kepada DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2005.
Selisih antara potensi dan realisasi pajak di Indonesia masih besar. Target pajak pada APBN 2005 relatif mudah dicapai tanpa kerja keras. Padahal, masih banyak 'ladang' yang belum tergarap, ujarnya.
Dengan target itu, maka rasio penerimaan pajak dalam APBN-P hanya sekitar 13,6%. Padahal, dalam visi misi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai reformasi pajak disebutkan, rasio pajak ditargetkan mencapai 19,5% sampai 2009.
Ia juga menyebutkan, pengampunan pajak (tax amnesty) bagi wajib pajak nakal bisa menjadi solusi untuk peningkatan pendapatan pajak. Asalkan, langkah itu dilengkapi dengan sistem yang mendukung seperti pencatatan dengan database NPWP (nomor pokok wajib pajak) yang mutakhir.
Namun, secara politik pengampunan untuk wajib pajak nakal itu bukan pilihan yang baik. Karena, akan menimbulkan kecurigaan dan perasaan tidak adil di kalangan masyarakat. Apalagi, masyarakat masih terguncang akibat kenaikan harga BBM.
Di tempat yang sama, anggota Komisi XI DPR dari Partai Amanat Nasional, Asman Abdur, sependapat dengan usul pergantian pejabat. Namun, hal itu harus dibarengi dengan pembenahan lembaga perpajakan, termasuk pembersihan pejabat di tingkat eselon dua dan tiga serta di daerah. (CR-41/E-1)
Sumber: Media Indonesia, 1 April 2005