Penyehatan Keuangan Bank
Thursday, 27 April 2017 - 00:00
Diperlukan dua bentuk tindakan radikal untuk menyehatkan kondisi keuangan industri perbankan yang sangat terganggu dewasa ini.
Tindakan radikal pertama adalah dengan menambah modal bank agar memenuhi ketentuan modal minimum sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Tindakan radikal kedua adalah untuk membersihkan pembukuan bank dari kredit bermasalah agar tidak melanggar aturan kehati-hatian (prudential rules and regulations) industri perbankan. Tindakan darurat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini yang melonggarkan aturan prudensial atau kehati-hatian tersebut dapat menunda sementara kesulitan keuangan itu yang nantinya diharapkan akan dapat diatasi setelah harga-harga komoditas primer membaik kembali.
Gangguan pada kesehatan keuangan industri perbankan dewasa ini adalah bersumber dari penurunan tingkat harga komoditas primer di tingkat internasional yang terjadi terus-menerus selama beberapa tahun terakhir.
Komoditas primer ekspor Indonesia tersebut adalah terutama berupa hasil tambang, seperti batubara dan nikel, maupun hasil pertanian, seperti minyak kelapa sawit, serta hasil perikanan laut, yang terutama kita ekspor ke China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Pada gilirannya, penurunan ekspor bahan mentah tersebut telah mengganggu tingkat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama di daerah pertambangan dan perkebunan, maupun kemampuan dunia usaha untuk melunasi kreditnya sehingga meningkatkan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) industri perbankan. Akibat dari gabungan antara kemerosotan pendapatan dan kenaikan tingkat suku bunga, sektor rumah tangga juga mengalami kesulitan melunasi kredit rumah dan perabotnya maupun kendaraan bermotor.
Kebijakan pelonggaran sementara aturan prudensial oleh OJK dianggap tidak cukup karena jumlah NPL beberapa bank sudah mendekati jumlah modal dan cadangan atau provisinya. Melalui transaksi antarbank, kesulitan likuiditas suatu bank akan berjangkit pada bank-bank lain yang merupakan mitranya. Masa sementara itu pun sulit diperkirakan karena penurunan harga komoditas primer sudah berlangsung sejak tahun 2011 walaupun sudah mulai membaik sejak beberapa waktu terakhir.
Periode sekarang ini adalah sangat berbeda dengan sewaktu terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Pengaturan dan pemeriksaan bank dewasa ini jauh lebih baik daripada masa represi sektor keuangan pada masa Orde Baru.
Meski demikian, pada waktu itu, ekspor dan pendapatan nasional dapat segera ditumbuhkan kembali melalui devaluasi rupiah yang merosot nilainya dari Rp 2.300 per dollar AS menjadi di atas Rp 15.000 per dollar AS. Rahasianya adalah karena gabungan antara harga komoditas primer yang masih baik pada waktu itu dengan tingginya perdagangan internasional serta tingkat laju pertumbuhan ekonomi China dan India maupun negara-negara maju.
Devaluasi 1997 telah meningkatkan daya beli petani cokelat, sawit, dan ikan laut di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sehingga memungkinkan mereka membeli kendaraan bermotor dan melakukan umrah. Dewasa ini, tingkat harga komoditas primer yang menurun itu diikuti oleh rendahnya tingkat laju pertumbuhan ekonomi serta perdagangan dunia.
"Bail out" dan "bail in" perbankan
Ada lima cara untuk menambah modal bank. Cara pertama, meminta pemiliknya untuk menambah modal karena pada hakikatnya pemegang sahamlah yang wajib untuk memenuhi ketentuan perbandingan saham dengan risiko yang dihadapi oleh bank. Cara kedua, mengeluarkan surat utang atau obligasi berjangka panjang yang dapat diakui sebagai modal inti (Tier 12). Obligasi bank ada yang diasuransikan dan ada yang tidak.
Cara ketiga adalah mengeluarkan obligasi yang dapat dikonversikan sebagai saham bank yang disebut sebagai contingent convertible (CoCo) bonds. CoCo bonds dapat diakui sebagai utang jangka panjang sehingga dapat digunakan untuk menambah modal inti bank. Cara keempat adalah mewajibkan deposan besar untuk ikut menanggung kerugian bank dengan cara mengonversikan sebagian atau seluruh depositonya ke dalam bentuk saham ataupun obligasi bank. Keempat cara ini disebut sebagai bail in di mana risiko bank ditanggung bersama antara pemilik bank dengan deposan serta kreditornya.
Cara kelima untuk memulihkan kembali kecukupan modal bank adalah melalui suntikan modal dari pemerintah. Secara bertahap, bank mengembalikan pinjamannya kepada pemerintah setelah keadaan membaik kembali. Cara ini dilakukan di seluruh dunia mulai dari krisis perbankan di negara-negara Skandinavia pada awal tahun 1990-an, di Asia tahun 1997-1998, krisis Rusia, maupun krisis di Amerika tahun 2007-2008. Selain menambah modal bank, pemerintah juga mendirikan perusahaan, seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang menjual ataupun melakukan strukturalisasi kredit bermasalah. Yang dibantu bukan saja bank, melainkan juga termasuk nasabahnya seperti perusahaan asuransi AIA dan industri mobil, General Motor, di Amerika Serikat.
Campur tangan pemerintah itu bisa menimbulkan biaya fiskal ataupun mendatangkan keuntungan bagi negara jika peminjam mengembalikan pokok kredit ditambah dengan bunga. Biaya fiskal krisis perbankan di Indonesia tecermin dari besarnya jumlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum dibayar dan mahalnya bunga Surat Utang Negara (SUN) yang terus-menerus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga hari ini.
Untuk menghindarkan beban fiskal, dalam pertemuan puncak (KTT) G-20 di Seoul pada tahun 2010 diputuskan agar pemerintah negara-negara anggota menghentikan kebijakan penalangan (bail out) dan menggantikannya dengan bail in. Bail in hanya bisa berjalan jika pemodal bank masih punya kekayaan maupun agunan yang berharga. Pengalaman dari krisis 1997 menggambarkan bahwa sebagian besar dari surat berharga, personal guarantee, atau jaminan pribadi pemilik bank atau pihak yang berutang adalah tidak berharga. Penjualan aset BPPN hanya secuil dari nilai BLBI. Campur tangan pemerintah juga dilakukan karena alasan politik, misalnya untuk membantu bank kolaps yang sahamnya sebagian besar dikuasai oleh para pemodal lemah.
Kreditor dan deposan di bank yang bermasalah dapat menanggung kerugian melalui dua cara. Cara yang pertama melalui penurunan nilai pasar obligasi serta tingkat suku bunganya. Cara yang kedua adalah melalui konversi obligasi menjadi saham bank. Menurut pemrakarsanya, bail in dapat digolongkan atas dua golongan. Kelompok pemrakarsa pertama adalah karena tekanan pemerintah kepada deposan dan pembeli besar obligasi untuk ikut serta menanggung kerugian bank. Kelompok pemrakarsa kedua karena adanya kesepakatan antara deposan serta pemegang obligasi dengan bank. Menurut aturan yang berlaku di seluruh dunia, deposan yang memiliki suatu jumlah deposito tertentu wajib ikut menanggung kerugian bank bermasalah.
Restrukturalisasi internal
Bank juga dapat mengatasi kekurangan modal dan kredit bermasalah dengan melakukan penghematan internal untuk mencapai dua sasaran sekaligus. Sasaran pertama adalah untuk menekan biaya produksi dengan mengurangi jumlah cabang maupun anjungan tunai mandiri (ATM) serta karyawan yang kurang produktif.
Efisiensi juga dapat ditingkatkan dengan mengurangi risiko kredit, risiko pasar, maupun risiko operasional. Risiko operasional termasuk pengadaan barang dan jasa yang diperlukan bank. Sasaran kedua adalah untuk memupuk cadangan atau provisi maupun menjual aktiva serta agunan kredit atau kolateral yang ada. Pengalaman pada krisis 1997 dan 2008 juga menggambarkan bahwa sebagian besar agunan kredit bank yang dijaminkan hanya dapat dijual dengan tingkat harga obral. Pada gilirannya, pemupukan provisi akan mengurangi kemampuan bank menjalankan bisnisnya untuk memberikan kredit dan melakukan investasi.
Masalah pokok NPL di Indonesia adalah bukan pada nilai buku agunan kredit atau kolateral tersebut, tetapi pada harga pasarnya. Nilai buku kolateral itu hampir tidak ada kaitan dengan harga pasarnya. Dewasa ini, sebagian terbesar dari kolateral kredit bank adalah dimiliki perusahaan pertambangan dan perkebunan dalam bentuk mesin pabrik, traktor, dan alat-alat berat maupun bangunan komersial yang berada di daerah pertambangan dan perkebunan di daerah terpencil di pedalaman Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Karena hampir tidak mungkin dipindahkan ke daerah perkotaan, harga kolateral yang ada di daerah terpencil tersebut merosot secara drastis bilamana perusahaan tersebut berhenti beroperasi.
Pelunasan kredit untuk perorangan dan rumah tangga kelihatannya lebih cerah karena individu perorangan dianggap lebih mampu melunasi kembali kreditnya setelah keadaan ekonomi kembali membaik sehingga ia bisa mendapatkan kembali pekerjaan dan memulihkan pendapatannya.
Kondisi di Indonesia
Mengikuti keputusan KTT G-20 di Seoul pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia telah membuat aturan bahwa suntikan modal untuk penyelamatan bank bermasalah hanya dapat dilakukan melalui bail in. Untuk menghindari krisis fiskal suntikan modal bank tidak lagi akan melakukan bail out. Logika aturan ini sangat baik karena adalah lebih baik jika pengeluaran APBN pemerintah itu dipergunakan untuk membelanjai pendidikan dan kesehatan masyarakat serta memperbaiki infrastruktur guna meningkatkan tingkat laju pertumbuhan ekonomi secara adil dan berkesinambungan.
Pengambilalihan BLBI oleh negara adalah juga bersifat regresif karena hanya menguntungkan pemiliknya yang merupakan orang kaya yang dibelanjai oleh penerimaan negara dari pajak serta utang negara yang lebih banyak ditanggung oleh kelompok masyarakat miskin. Demikian juga dengan amnesti pajak yang mengampuni perbuatan kriminalitas para penggelap pajak.
Karena dua alasan, tekad pemerintah untuk menjalankan bail in dan mengharamkan bail out bank-bank bermasalah di Indonesia tidak akan dapat direalisasikan. Alasan pertama adalah karena sistem keuangan Indonesia adalah didominasi oleh bank-bank komersial. Pangsa pasar industri bank komersial tersebut adalah dikuasai oleh lima bank negara dan 26 Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Sumber pendapatan bank-bank negara dan BPD adalah berasal dari pemiliknya sendiri. Kekayaan keuangan serta transaksi keuangan pemerintah pusat dan BUMN dilakukan melalui bank-bank negara. Seperti hanya dengan pemerintah, pengusaha swasta nasional adalah mengutamakan bank miliknya sendiri. Pilihan lain bagi pengusaha nasional adalah bank asing yang membantu transaksi internasionalnya. Sementara itu, kekayaan keuangan pemda dan badan usaha milik daerah (BUMD) disimpan di BPD miliknya sendiri dan transaksi keuangan mereka pun dilakukan melalui BPD-nya.
Seperti tahun 1997, industri perbankan akan kolaps jika pemerintah tidak mencukupi modal dan membersihkan buku bank-bank negara dan BPD. Sebagian besar dari BLBI tahun 1997 adalah disuntikkan pada sekelompok kecil bank-bank milik negara itu.
Alasan kedua adalah karena pemerintah tidak mungkin akan memaksa BUMN dan BUMD untuk membeli CoCo bonds atau mengonversikan depositonya ke dalam bentuk obligasi CoCo bonds agar ikut menanggung kerugian bank-bank negara dan BPD. Hal seperti ini hanya memindahkan masalah dari satu BUMN ke BUMN lainnya. Yang biasa dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan bank bermasalah hanyalah sekadar memindah- mindahkan penyimpanan rekeningnya ataupun rekening BUMN dan BPD non-bank dari satu bank yang sehat ke bank yang mengalami kesulitan.
ANWAR NASUTION, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
-----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Penyehatan Keuangan Bank".