Penyadapan dalam Revisi UU KPK

Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang gencar memberantas korupsi, termasuk dengan menyadap, tidak hanya membuat gerah koruptor, tapi juga sebagian politikus di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketidaknyamanan ini akibat banyaknya kader dan pemimpin partai politik yang berhasil disadap dan dijerat oleh komisi antirasuah ini. Salah satu cara politikus "meredam" kewenangan penyadapan KPK adalah dengan mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, usaha sejumlah partai politik di DPR mengusulkan revisi UU KPK sudah dimulai pada 2011. Bahkan sudah ada empat rancangan revisi yang beredar, yaitu naskah revisi UU KPK edisi 2012, edisi Oktober 2015, edisi Desember 2015, dan terakhir edisi Februari 2016.

Isu yang selalu muncul dari keempat draf revisi itu adalah ketentuan tentang penyadapan. Para pengusul revisi mempersoalkan mekanisme penyadapan di lingkup internal KPK yang dinilai tidak transparan dan akuntabel serta tanpa pengawasan. Alasan anggota DPR lainnya adalah bahwa wewenang penyadapan harus dikontrol untuk mencegah adanya unsur pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan wewenang.

Kewenangan penyadapan KPK diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU KPK huruf a, yang menyebutkan, dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan. Tiada aturan yang mengharuskan izin pihak lain di luar KPK untuk menyadap.

Dengan kewenangan penyadapan itu, KPK berhasil menjerat dan menangkap banyak koruptor melalui operasi tangkap tangan (OTT). Sejumlah politikus yang tertangkap tangan oleh KPK adalah, antara lain, Dewi Yasin Limpo, Adriansyah, Luthfi Hasan Ishaq, Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Abdul Hadi Jamal, dan Chairun Nissa. Penyadapan KPK juga mengungkap adanya rekayasa hukum pada kasus kriminalisasi terhadap Bibit Samad dan Chandra Hamzah, pemimpin KPK periode kedua.

Sayangnya, keberhasilan penyadapan oleh KPK ini selalu dipersoalkan dalam revisi UU KPK. Selalu ada kesamaan di antara semua usul revisi itu, yaitu perlu ada permintaan izin dari lembaga lain di luar KPK jika penyidik ingin menyadap.

Pada naskah Revisi UU KPK edisi 2012 dan 2015, disebutkan bahwa permintaan izin penyadapan harus melalui Ketua Pengadilan Negeri. Aturan ini berubah menjadi dengan persetujuan Dewan Pengawas KPK pada naskah Revisi UU KPK edisi Februari 2016. Dalam Pasal 12A Draf Revisi UU KPK edisi 2016, disebutkan bahwa penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Setidaknya terdapat empat catatan kritis mengenai rencana pengaturan penyadapan KPK dalam naskah revisi UU KPK. Pertama, tidak ada pelanggaran konstitusi dari kewenangan penyadapan KPK yang dilakukan selama ini. Ketentuan tentang penyadapan KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK setidaknya pernah dua kali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.

Upaya pemohon untuk membatalkan ketentuan penyadapan KPK tersebut ditolak oleh hakim konstitusi pada 2003 dan 2006. Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi dan selama ini kewenangan penyadapan sangat mendukung keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, secara hukum KPK berwenang menyadap berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, ketika KPK menyadap, tidak diperlukan izin dari pengadilan atau lembaga lain. Pimpinan KPK dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa mekanisme penyadapan KPK dilakukan berdasarkan standard operational procedure (SOP) yang ketat dan diaudit secara berkala oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Ketiga, upaya merevisi pengaturan penyadapan melalui Revisi UU KPK telah menunjukkan perlakuan diskriminatif DPR terhadap KPK. Padahal ada lembaga selain KPK yang juga berwenang menyadap, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara, dan Badan Narkotika Nasional. Mengapa hanya mekanisme penyadapan KPK yang dipersoalkan? Hal ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa semangat revisi UU KPK lebih dimaksudkan sebagai upaya pembatasan kewenangan penyadapan oleh KPK.

Keempat, substansi pengaturan penyadapan dalam naskah revisi UU KPK 2016 justru mempersempit ruang gerak KPK dan memperpanjang birokrasi sehingga proses menjadi berlarut-larut. Selain itu, keberadaan Dewan Pengawas KPK, yang diangkat oleh Presiden, berpeluang mengintervensi dan membuat proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan bahkan cenderung gagal.

Upaya sebagian partai politik di DPR merevisi UU KPK dengan alasan untuk mengawasi penyadapan KPK adalah tindakan yang tidak tepat, tidak menjawab persoalan, dan justru dapat menghambat upaya penindakan lembaga antirasuah itu. Mekanisme penyadapan oleh KPK sebaiknya tetap mengacu pada UU KPK yang saat ini berlaku, dengan tetap mendorong penerapan SOP dan checks and balances internal yang ketat serta adanya audit atas penyadapan secara regular.

Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Hukum Monitoring dan Peradilan ICW
---------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 16 Maret 2016, di halaman 11 dengan judul "Penyadapan dalam Revisi UU KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan