Penuntasan Kasus Korupsi di Jawa Barat Terganjal Prosedur Izin
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Edi Darnadi mengatakan, penuntasan penyelidikan kasus korupsi oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat masih terganjal prosedur perizinan.
Polisi terbentur dengan lambat dan lamanya proses perizinan kepada Presiden RI dan Gubernur Jawa Barat untuk pemanggilan dan pemeriksaan terhadap bupati, wali kota, dan anggota DPRD.
Selama ini yang masih marak di beberapa kabupaten adalah proses penyidikan dan pengadilan kepada mantan anggota DPRD. Kasus korupsi mereka cenderung lebih cepat karena mereka sudah menjadi mantan, kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Edi Darnadi dalam dialog interaktif Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, di Hotel Surya Pesona Pantai Timur Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Sabtu (26/3).
Edi mengatakan, pihaknya belum melakukan upaya apa pun agar proses perizinan tersebut dapat dipercepat. Hingga saat ini, polisi hanya menunggu jawaban seluruh surat permohonan pemanggilan dan penyidikan para kepala daerah dari Presiden RI.
Kami belum memiliki kiat atau upaya bagaimana caranya agar proses permohonan tersebut dapat cepat. Bahkan, mungkin dapat dihapus sama sekali, ujarnya seusai acara dialog.
Bahkan Edi menginginkan agar kasus korupsi termasuk dalam kasus kejahatan luar biasa. Namun, penuntasannya dapat dilakukan seperti penyidikan kasus kejahatan biasa, misalnya pembunuhan atau pencurian. Yaitu, tanpa melakukan prosedur perizinan berbelit.
Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM, guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, membenarkan bahwa proses penyelesaian kasus korupsi itu sangat lambat. Alasannya, polisi tetap akan terganjal selama Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2004 mengenai percepatan pemberantas korupsi belum diganti.
Dalam inpres tersebut tidak dimuat adanya kebebasan polisi melakukan upaya penyidikan dan penyelidikan atas kasus korupsi. Saat ini ia tengah terlibat dalam pembahasan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) pengganti inpres tersebut. Nantinya, dalam perpu tersebut polisi akan diberi kebebasan menyidik dan menyelidiki hingga pemanggilan bupati dan wali kota tanpa harus meminta persetujuan Presiden, katanya.
Selama ini laporan yang masuk ke polisi dan proses penyidikan korupsi masih terbatas pada penyimpangan aliran dana yang keluar atau digunakan. Padahal, kasus korupsi yang paling rawan adalah di pos penerimaan anggaran.
Ia mencontohkan, APBD di masing-masing daerah, di antaranya, berasal dari penerimaan pajak. Akan tetapi, selama ini pemerintah daerah belum pernah membeberkan sumber- sumber penerimaan tersebut berasal dari mana saja dan berapa nilainya secara rinci.
Pengawasan terhadap penerimaan masih sangat rendah. Kita masih terfokus kepada pengeluaran yang tidak sesuai atau menyimpang saja, kata Edi. Bahkan ia juga mengakui bahwa polisi juga melakukan banyak penyimpangan dalam pos penerimaan, misalnya pada pos penerimaan pembuatan surat izin mengemudi (SIM).
Biaya pembuatan SIM hanya senilai Rp 75.000. Akan tetapi, dalam praktiknya, biaya pembuatan SIM dapat membengkak hingga Rp 200.000. Artinya, entah ke mana larinya uang Rp 125.000 itu, katanya. Sementara beberapa peserta dialog juga mempertanyakan overlaping penyidikan kasus korupsi antara polisi dan jaksa. (AYS)
Sumber: Kompas, 28 Maret 2005