Penundaan Pendidikan Gratis Menghambat Mobilitas Sosial

Kecenderungan pemerintah menunda-nunda terwujudnya pendidikan dasar gratis bagi semua rakyat sama saja dengan menghambat kesempatan bagi kalangan rakyat miskin untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan. Sesuai dengan janjinya mewujudkan Indonesia Baru, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla perlu menjadikan pendidikan sebagai sektor prioritas.

Jika anggaran pendidikan memadai, amanat konstitusi untuk memberikan hak dasar bagi warga negara dalam bidang pendidikan bisa terpenuhi. Hanya dengan pendidikanlah rakyat miskin bisa memperbaiki kehidupannya.

Bagaimana mungkin anak- anak nelayan atau tukang bata, misalnya, bisa menikmati pendidikan jika biaya sekolah makin sulit dijangkau oleh mereka? Tujuh turunan nasib mereka tetap bergelut dengan kemiskinan ujar Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, dalam dialog tentang Konsep Pendidikan Dasar Gratis bagi Semua Orang di Jakarta, Selasa (22/2).

Dialog yang diadakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut menampilkan tiga pembicara, yakni, Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas Fasli Jalal, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Makmuri Sukarno, dan anggota Komisi X DPR Masduki Baedlowi.

Benang merah utama dari dialog tersebut mengingatkan pemerintah untuk konsekuen pada jaminan ketersediaan pendidikan dasar (9 tahun) gratis bagi semua kalangan, sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945 dan Undang-Undang (UU) Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Penundaan pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan bagi semua kalangan dikhawatirkan menghambat terwujudnya demokratisasi dan masyarakat madani.

Tagih komitmen
Terkait dengan tataran implementasi, Utomo Dananjaya mengingatkan komitmen awal Yudhoyono untuk mewujudkan tatanan Indonesia Baru. Ia menegaskan, pada bulan Maret nanti jika presiden mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2005 yang belum mengarahkan tercapainya alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, publik bisa saja mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.

Ketidakpatuhan pemerintah pada komitmen 20 persen tersebut, kata Utomo, menunjukkan pelanggaran terhadap UUD 1945 dan UU Sisdiknas.

Masduki Baedlowi (Fraksi Kebangkitan Bangsa) menambahkan, RAPBN 2005 yang disusun pemerintah sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda melenceng dari skenario pemenuhan realisasi alokasi 20 persen tersebut.

Ia mengingatkan, menjelang berakhirnya masa kerja DPR dan pemerintah tahun 1999- 2004, antara Komisi VI DPR dan lima menteri telah ada skenario yang mengarah pada pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Menteri yang dimaksud antara lain Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, dan Menteri Pendidikan Nasional A Malik Fadjar.

Menyadari keterbatasan anggaran negara, skenario tersebut bersifat progresif dan bertahap sehingga pemenuhan alokasi 20 persen ditoleransi baru terwujud tahun 2009. Asumsinya adalah, tahun 2004, alokasi Rp 16,8 triliun (atau 6,6 persen dari APBN); tahun 2005 Rp 24,9 triliun (9,3 persen); tahun 2006 Rp 33,8 triliun (12,0 persen); tahun 2007 Rp 43,4 triliun (14,7 persen); tahun 2008 Rp 54,0 triliun (17,4 persen); dan tahun 2009 Rp 65,5 triliun (20,1 persen).

Ternyata, dalam Rancangan APBN 2005 ini, rancangan alokasi anggaran pendidikan hanya Rp 21,5 triliun. Kalau dari awal saja pemerintahan melenceng dari skenario, maka kita patut pesimistis bahwa tahun 2009 kesepakatan tadi bisa terpenuhi, kata Masduki.

Menanggapi hal itu, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Jalal segera meluruskan bahwa alokasi anggaran pendidikan dari APBN tahun 2005 adalah Rp 25,5 triliun. Alokasi anggaran tahun 2005 ini malah lebih lebih besar dari skenario, katanya.

RPP Wajib Belajar
Terkait dengan pendidikan dasar, Masduki menyoroti lambannya Depdiknas menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan dari UU Sisdiknas. Karena UU tersebut disahkan tahun 2003, dalam tahun 2005 setidaknya tiga RPP yang terkait dengan pendidikan dasar sudah harus terbit.

Pertama, RPP tentang Wajib Belajar 9 Tahun. Kedua, RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dan, ketiga, RPP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan. (NAR)

Sumber: Kompas, 23 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan