Pentingnya Kritik Masyarakat Dalam Pemerintahan Jokowi JK

Jakarta, antikorupsi.org (10/11/2015) – Masyarakat memiliki peran yang strategis dalam mengawal dan mengkritik setiap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Tidak terkecuali pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), pembiaran kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu contoh ketidaktegasan Presiden, sekaligus sikap pemerintah di bidang penegakan hukum. Demikian disampaikan dosen filsafat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert, Aktivis 1998 John Muhammad, akademisi Dirga Ardiansyah, serta aktivis Andre Barahmin pada acara diskusi dengan tema ‘Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK: Membangun Perlawanan Terhadap Oligarki di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat Senin (9/11/2015).

Robertus Robert mengatakan, tidak sedikit kontroversi yang terjadi pada era pemerintahan Jokowi JK. Salah satunya permasalahan korupsi dan kriminalisasi kepada dua mantan komisioner KPK. Presiden terkesan tidak dapat memulihkan situasi pemidanaan yang dijatuhkan kepada dua mantan komisioner KPK, pegiat antikorupsi, serta komisioner Komisi Yudisial (KY).

“Banyak kasus yang terbengkalai dan tidak terselesaikan sampai saat ini, seperti politik APBN yang senyap, mengerutnya ketatanegaraan, sampai pada konflik SARA,” ujarnya.

Menurut dia, pemerintahan Jokowi lebih terkesan memiliki politik pembangunan yang lebih partisipatif. Namun prakteknya yang menonjol adalah kebijakan ‘mega proyek’ menjadi mayoritas tanpa memikirkan masalah hukum dan kestabilan negara.

“Pemerintahan saat ini terkesan memiliki kekuasaan yang tidak bermoral dan bekerja berdasarkan logika kepentingan semata. Maka kritik masyarakat sangat dibutuhkan agar tidak melenceng,” tegas Robert.

Pada kesempatan yang sama John Muhammad mengatakan, mengkritik pemimpin yang populer seperti Jokowi membutuhkan strategi khusus bagi para aktivis. Popularisme ini menjadi tantangan tersendiri karena dukungan yang ‘besar’ menjadikan kritik yang disampaikan tidak tercapai. Maka dibutuhkan konsistensi agar kritik yang disampaikan menjadi bentuk pengawalan berjalannya pemerintahan.

“Kita harus berani mengkritik pemerintahan saat ini. Sedekat apapun kita dengan pemerintahan namun kritik dapat menjadi alat masyarakat sipil sebagai bentuk pengawasan,” ujar Jhon.

Sementara itu menurut Dirga Ardiansyah, situasi politik saat ini terkesan didorong menjadi politik yang tertib dan tidak gaduh. Hal ini sama saja mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil. “Dalam konteks seperti ini sulit kita membangun ruang demokrasi di masyarakat. Karena politik yang berjalan saat ini dimaknai sebagai kesadaran politik,” tegas Dirga. (Ayu-Abid)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan