Penolakan Perppu Berlanjut; Publik Tolak Kriminalisasi KPK

Pemilihan tiga pelaksana tugas baru tidak menghentikan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Perppu itu dinilai mengancam masa depan pemberantasan korupsi.

Demikian dikatakan Febri Diansyah, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, di Jakarta, Selasa (6/10). ”Kami menolak perppu itu,” kata Febri.

Sebelum perppu itu, kata Febri, KPK adalah lembaga independen dan sulit disentuh Presiden karena anggotanya dipilih wakil rakyat. Dengan munculnya perppu itu, Presiden dapat langsung menunjuk pejabat KPK. ”Ini bagian dari pemusatan kekuasaan yang berbahaya dan bisa mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia,” kata dia.

Taufik Basari, seorang pengacara pejabat KPK nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, mengakui tengah menyiapkan pengajuan uji materi terhadap perppu yang menjadi dasar penunjukan ketiga pimpinan sementara KPK. Senin lalu, Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal Konstitusi mendaftarkan gugatan uji materi terhadap perppu itu ke Mahkamah Konstitusi.

Kriminalisasi KPK
Taufik juga mengingatkan, terpilihnya tiga pejabat sementara KPK tidak mengalihkan isu kriminalisasi pejabat KPK sebelumnya. ”Perppu, Tim 5 (yang merekomendasikan calon pimpinan sementara KPK pada Presiden), dan pelaksana tugas adalah satu rangkaian dengan kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra,” kata dia.

Taufik minta kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra menjadi perhatian semua pihak, baik oleh Presiden, Kepala Polri, maupun KPK. ”Kriminalisasi itu satu paket dengan perppu. Ini bagian dari skenario pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata dia.

Secara terpisah, puluhan orang mengatasnamakan Himpunan Mahasiswa Indonesia Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) berunjuk rasa di Kantor KPK, Selasa. Mereka menolak perppu dan pemilihan pejabat sementara pimpinan KPK. ”Kami menuntut KPK tetap independen, bukan yang bisa diintervensi Presiden,” ungkap M Chozin, Ketua Pengurus Besar HMI MPO.

Di Banda Aceh, warga yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Aceh juga menolak kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan lembaga itu. Pelemahan KPK dan kriminalisasi pimpinan KPK bisa membuat upaya pemberantasan korupsi tidak akan berjalan.

Dalam aksi di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa, puluhan aktivis membentangkan spanduk yang berisi pernyataan dukungan terhadap lembaga super ini. Koordinator aksi, Salbani Mosa, mengatakan, lahirnya KPK sebagai lembaga antikorupsi telah menjawab keinginan sebagian besar warga Indonesia untuk melihat tegaknya hukum terhadap pihak yang memakan uang rakyat. KPK memberikan angin segar dan harapan besar bagi rakyat Indonesia.

Pejabat Koordinator Gerakan AntiKorupsi Aceh Askhalani menambahkan, pemberantasan korupsi akan mati saat KPK tidak lagi bisa menjalankan tugas sesuai dengan kewenangan yang semula dimandatkan rakyat.

Secara terpisah, pengamat masalah antikorupsi, Roby Arya Brata, menyatakan, penunjukan tiga pejabat pelaksana tugas sementara pimpinan KPK yang bermasalah sejak awal diduga akan menimbulkan komplikasi hukum di kemudian hari. Ini diduga akan memengaruhi keputusan yang bakal diambil KPK.

Ia juga mengkhawatirkan konflik kepentingan dari Mas Achmad Santoso, pejabat sementara KPK. Istri Mas Achmad adalah pengacara di kantor Todung Mulya Lubis, yang juga kuasa hukum dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.(aik/mhd/ana/ire/SF)

Sumber: Kompas, 7 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan