Penjualan Tanker Pertamina Langgar UU [19/06/04]

Penjualan tanker raksasa milik PT Pertamina yang kini sedang dibangun di Ulsan, Korea Selatan, dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut Ketua Komisi IX DPR Emir Moeis, Jumat (18/6), berdasarkan undang-undang tersebut, tanker raksasa itu termasuk aset negara sehingga penjualannya harus mendapat izin Menteri Keuangan terlebih dulu.

Emir mengatakan hal itu menanggapi pernyataan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi. Menurut Ariffi, kedua tanker raksasa Pertamina sudah terjual seharga 184 juta dollar Amerika Serikat (AS) (Kompas, 18/6). Emir menilai Pertamina sudah mengeluarkan dana untuk membangun kedua tanker tersebut sehingga keduanya sudah merupakan aset pemerintah di bawah pengawasan Menteri Keuangan.

Menanggapi pernyataan Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, Ketua Tim Divestasi VLCC (very large crude carrier/tanker raksasa) Pertamina Andri Hidayat mengatakan, memang benar semua aset Pertamina merupakan aset negara. Akan tetapi, karena perusahaan ini sudah menjadi perseroan, Pertamina bisa mengambil keputusan bisnis sendiri untuk menjual aset tersebut.

Menurut Emir, penjualan tanker tidak cukup hanya mendapatkan izin dari Komisaris Pertamina Laksamana Sukardi yang juga Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam Pasal 46 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Perbendaharaan Negara tertulis, Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Oleh karena itu, katanya, Komisi IX akan segera memanggil Komisaris Pertamina Laksamana Sukardi dan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi sesegera mungkin. Keduanya akan dimintai penjelasan berkaitan dengan penjualan tanker tanpa izin Menteri Keuangan itu.

Emir menambahkan, sebenarnya dalam Pasal 46 UU Perbendaharaan Negara juga disebutkan tentang diperlukannya persetujuan DPR untuk pemindahtanganan tanah, bangunan, atau barang milik negara yang bernilai lebih dari Rp 100 miliar.

Jika nilai benda yang akan dijual lebih dari Rp 10 miliar, hingga Rp 100 miliar, harus ada persetujuan presiden.

Andri Hidayat mengatakan, pada masa lalu tidak ada batasan antara kekayaan milik Pertamina dan negara. Namun, setelah perusahaan ini menjadi perseroan, hal itu menjadi terpisahkan, meskipun sebenarnya seluruhnya tetap seratus persen milik negara.

Dia juga menambahkan, setelah perusahaan menjadi PT Pertamina, keputusan tertinggi berada di tangan rapat umum pemegang saham (RUPS). Hal itu sudah berjalan karena proses penjualan tanker sudah melalui RUPS dan mendapat izin Dewan Komisaris Pertamina.

BPK akan audit

Secara terpisah, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Amrin Siregar mengatakan, hingga saat ini BPK belum pernah melakukan audit, baik atas pembelian dua kapal tanker raksasa Pertamina yang dibeli tahun 2002 maupun rencana kebijakan menjual dua kapal tanker raksasa tersebut.

Hal itu mengingat Pertamina hingga sekarang ini belum juga menyusun laporan perihal alasan dari pembelian dan rencana penjualan dua kapal tanker terkait. Sampai sekarang ini kami masih menunggu selesainya laporan yang akan mereka susun lebih dulu, kata Amrin.

Ditanya, apakah nantinya BPK akan melakukan pemeriksaan, Amrin membenarkannya. Tentunya ya. Nantinya kami akan lakukan pemeriksaan itu. Waktu BPK memeriksa laporan keuangan Pertamina, transaksi (penjualan) itu tentunya juga akan terlihat, ujarnya.

Ketua BPK Satrio B Joedono menambahkan, sebaiknya juga dilakukan verifikasi terhadap biaya promosi dari penjualan kapal tanker raksasa itu.

Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki mengatakan, penjelasan anggota DPR seputar perjalanan sejumlah anggota Komisi VIII DPR ke Hongkong dan Korea Selatan (Korsel) belum menjawab urgensi perjalanan tersebut. Perdebatan kontroversial dari perjalanan itu hanya digeser ke masalah pendanaan.

Anggota DPR tak menjawab pertanyaan masyarakat mengenai apakah signifikansi dan urgensi rombongan anggota DPR berangkat ke Hongkong dan Korsel. Padahal, mereka juga belum tentu ahli pada bidang itu, ujar Teten.

Seharusnya Komisi VIII DPR meneliti inkonsistensi dari rencana bisnis Pertamina yang dulu membuat kebijakan pengadaan tanker, tetapi kini berubah ingin menjualnya. Jadi yang perlu dipertanyakan oleh Komisi VIII DPR adalah apakah ada pihak yang menarik rente dari kebijakan tersebut.

Teten juga mengatakan, rombongan anggota Komisi VIII DPR yang jumlahnya mencapai 16 orang itu terlalu besar dan perjalanan itu merupakan pemborosan. Dia berharap pemimpin partai politik menyikapi hal tersebut, terutama para calon presiden, sebagai komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut Teten Masduki, yang dilakukan anggota Komisi VIII DPR sudah merupakan penyimpangan alokasi anggaran yang sebenarnya tidak perlu. Memang DPR memiliki hak budget, katanya, tetapi juga punya rambu- rambu untuk mempertanggungjawabkan penggunaannya. (boy/har)

Sumber: Kompas, 19 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan