Penjualan Tanker Dinilai Tidak Sah [21/06/04]

Tindakan PT Pertamina yang terburu-buru menjual dua tanker raksasa dengan alasan harus mendapat pembeli sebelum tanker pertama selesai dibangun 9 Juli 2004 dinilai rentan terhadap gugatan hukum. Penandatanganan perjanjian jual beli dua tanker dengan pihak Frontline Ltd bahkan dinilai batal dan tidak sah secara yuridis.

Hal tersebut dikemukakan Ketua Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SP-PSI) Otto Gewa Diwara, Minggu (20/6) di Jakarta.

Pihak Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli, tetapi tidak memenuhi aspek yuridis, yakni persetujuan Menteri Keuangan (Menkeu) atas pelepasan aset dua tanker yang terjual dengan harga 184 juta dollar AS.

Otto menyebutkan, Direktur Utama Pertamina telah melanggar Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-25/MK/1994 tanggal 6 Juni 1994 perihal pemindahtanganan dan pemanfaatan kekayaan negara/badan usaha milik negara (BUMN). Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa penjualan kekayaan negara harus mendapat persetujuan Menkeu atau presiden atas usul Menkeu.

Surat edaran tersebut didukung antara lain oleh Undang- Undang (UU) Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pengawasan Persero, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89/KMK.013/ 1991 tentang Pedoman Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN.

Menurut hasil kajian hukum SP-PSI, Surat Edaran Menkeu Nomor SE-25/MK/1994 telah dimasukkan menjadi ketentuan intern Pertamina melalui Surat Keputusan Direktur Utama Nomor 017 Tahun 2001. Bahkan, sejak menjadi persero pun, Pertamina dalam menjual tanker bekas (scrap) tetap meminta persetujuan Menteri Keuangan, berbeda dengan penjualan tanker raksasa.

Kekhawatiran SP-PSI itu sebenarnya menguatkan pernyataan Ketua Komisi IX Emir Moeis (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/F-PDIP) yang mengindikasikan penjualan tanker Pertamina melanggar UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Alasannya, berdasarkan UU tersebut, tanker raksasa itu termasuk aset negara sehingga penjualannya harus mendapat izin Menteri Keuangan terlebih dulu.

Emir mengacu pada Pasal 46 Ayat (3) UU Perbendaharaan Negara, yakni Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Namun, Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari F-PDIP, Ransom Siagian, beda pendapat. Menurut dia, sesuai dengan UU BUMN, izin itu cukup dari Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi sebagai menteri yang ditunjuk mewakili pemerintah sebagai pemegang saham di Pertamina.

Alasannya, Pertamina telah menjadi persero dan yang berlaku adalah UU BUMN Nomor 19/2003. Dalam UU itu disebutkan menteri yang ditunjuklah yang memberikan keputusan jika terjadi pengalihan saham.

Ketika ditanya kapan Laksamana menerima amanah menjadi wakil pemerintah sebagai pemegang saham, Ransom mengatakan, sejak Pertamina menjadi persero pada bulan September 2003. Apabila kemudian pemerintah menentukan bahwa menteri teknis yang menjadi pemegang saham, maka kewenangan itu akan beralih ke menteri yang ditunjuk.

Audit BPK

Menyinggung penolakan DPR terhadap penjualan tanker, Ransom mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit terhadap proses penjualan tanker milik Pertamina. Audit dibutuhkan untuk menjawab kekhawatiran bahwa keputusan tersebut merugikan negara dan dilatarbelakangi oleh pihak yang ingin memburu rente yang diduga berkolusi dengan pejabat Pertamina.

Menurut Ransom, secara konstitusi dan keahlian, BPK dapat menjawab segala kekhawatiran dalam kasus penjualan tanker raksasa Pertamina. Seharusnya semua menempatkan diri masing-masing secara proporsional. Pertamina mengambil keputusan bisnis sesuai dengan amanah UU BUMN, dan DPR sebagai pengawas. Jika DPR memang ada kecurigaan keputusan penjualan tanker bermasalah, sebaiknya menyerahkan kepada BPK sebagai ahli untuk melakukan audit, ujar Ransom.

Dalam UU BUMN, hanya dua pasal yang menyinggung tentang pengalihan atau pelepasan aktiva, antara lain Pasal 14 dan Pasal 40. Pada Pasal 14 tertulis, ... wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai... pengalihan aktiva. Kemudian pada Pasal 40 tertulis Ketentuan mengenai tata cara pemindahtanganan... diatur dengan keputusan menteri.

Dalam UU BUMN Pasal 1 (5) tertulis Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Dalam akta pendirian perusahaan persero (Pertamina) yang dibuat Notaris Lenny Janis Ishak dijelaskan, Menteri Keuangan Boediono pada waktu menghadap notaris bertindak sebagai wakil negara Republik Indonesia. Dalam akta itu disebutkan, Menteri Negara BUMN dengan surat keputusan telah mengangkat anggota komisaris perusahaan untuk pengawasan perseroan dan mengangkat direksi untuk pengelolaan perseroan.

Ketua Tim Divestasi VLCC (very large crude carrier/tanker raksasa) Pertamina Andri Hidayat mengatakan, memang benar semua aset Pertamina merupakan aset negara. Akan tetapi, karena perusahaan ini sudah menjadi perseroan, Pertamina bisa mengambil keputusan bisnis sendiri untuk menjual aset tersebut.

Dia juga menambahkan, setelah perusahaan menjadi PT Pertamina, keputusan tertinggi berada di tangan rapat umum pemegang saham (RUPS). Hal itu sudah berjalan karena proses penjualan tanker sudah melalui RUPS dan mendapat izin Dewan Komisaris Pertamina.

Soroti capres

Secara terpisah, sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Hotman Siahaan, mengatakan, kampanye seluruh calon presiden (capres) untuk memberantas korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih terbukti hanya sekadar slogan dan janji-janji. Hal itu terbukti ketika mencuat kasus anggota DPR yang jalan-jalan ke Hongkong terkait dengan penjualan tanker Pertamina, tak satu capres pun yang bereaksi untuk menyikapinya.

Sikap tersebut, lanjut Hotman, semakin menegaskan bahwa selama ini kampanye para capres sekadar slogan dan jualan semata. Sangat tidak wajar ketika seluruh calon pemimpin bangsa yang sedang mengampanyekan dirinya kepada rakyat akan menyelesaikan korupsi sistematis yang menjadi permasalahan besar bangsa ini, justru mendiamkan persitiwa yang begitu riil itu, ujarnya.

Sudah jadi rahasia umum bahwa setiap proses transaksi yang melibatkan BUMN selalu ada komisi bagi para wakil rakyat. Itu adalah bagian dari korupsi sistemik yang menjadi penyakit bangsa ini, kata Hotman menambahkan.

Ia menilai masalah tersebut merupakan isu politik yang sangat besar yang seharusnya ditangkap oleh kelima pasangan capres-cawapres. (DOT/BOY)

Sumber: Kompas, 21 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan