Penjara Garut Menunggu Anggota DPRD [12/06/04]

SEJAK dua minggu lalu Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Garut, Jawa Barat, Gufroni bin Sarbaya terlihat sibuk. Ia mempersiapkan ruang tahanan baru, mematuhi perintah Koordinator Urusan Kemasyarakatan Kantor Wilayah Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat. Kami sedang berpikir mengubah ruang besuk yang berukuran 4 x 7 meter menjadi ruang tahanan dua lantai, katanya.

Penambahan ruang tahanan ini harus segera selesai karena penghuni LP Garut sekarang 292 orang. Padahal, kapasitas LP berkelas 2B itu sebenarnya hanya 150 tahanan. Sementara itu, sebentar lagi tahanan akan bertambah. Mereka diperkirakan berasal dari pelaku kasus penyalahgunaan anggaran keuangan DPRD Garut mulai tahun 2001 sampai Maret 2003 bernilai lebih dari Rp 6,6 miliar.

Maret 2004, Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut menetapkan empat tersangka dalam kasus penyalahgunaan keuangan tersebut. Mereka adalah Ketua DPRD Garut Iyos Somantri dan tiga wakilnya: Dedi Suryadi, Mahyar Suara, dan Encep Mulyana.

Jumlah tersangka ini kemungkinan masih bertambah. Soalnya, Kejari Garut juga menetapkan 41 anggota DPRD Garut sebagai calon tersangka karena dianggap turut menikmati hasil penyalahgunaan itu. Sekarang kami masih memilah-milah, siapa saja dari 41 anggota DPRD Garut itu yang akan segera ditetapkan secara resmi sebagai tersangka, kata Kepala Kejari Garut Winerdy Darwis.

Di tengah upaya penyidikan Kejari Garut, Winerdy menargetkan sebelum 22 Juli 2004 berkas perkara kasus ini dengan tersangka empat pemimpin DPRD Garut sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Garut. Sedangkan berkas perkara untuk 41 anggota DPRD Garut lainnya direncanakan sudah masuk ke pengadilan akhir Agustus 2004. Target Winerdy ini jadi salah satu alasan Gufroni segera menyiapkan ruang tahanan baru.

Dugaan penyalahgunaan keuangan di lingkungan DPRD Garut mencuat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Garut mengirimkan surat kepada Kepala Kejari Garut pada 23 September 2003. Lewat surat dua lembar itu, MUI menyatakan prihatin melihat nilai anggaran keuangan DPRD Garut yang terus bertambah setiap tahun. Pada tahun 2001 anggaran DPRD Rp 5,607 miliar, tahun 2002 menjadi Rp 7,363 miliar. Pada tahun 2003, anggaran DPRD Garut itu kembali naik menjadi Rp 9,09 miliar atau 27,3 persen dari jumlah total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Garut tahun 2003 yang berjumlah Rp 30,102 miliar.

Kami amat menyesalkan kenaikan anggaran DPRD ini. Sebab, tidak diikuti dengan peningkatan kinerja, kata Abdul Halim dari MUI. Padahal, sebagian besar anggaran yang digunakan oleh DPRD itu berasal dari penarikan dana masyarakat.

Menurut catatan, dari Rp 30,102 miliar PAD Garut tahun 2003, sebanyak Rp 26,6 miliar atau 88,7 persen berasal dari penarikan dana masyarakat. Rinciannya: Rp 23,210 miliar dari retribusi dan Rp 3,385 miliar dari pajak daerah. Sedangkan sekitar Rp 3,5 miliar PAD Garut lainnya didapat dari beberapa pos, seperti hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, hasil perusahaan milik daerah, dan pendapatan daerah lain yang sah, seperti hasil penjualan barang milik daerah dan jasa giro.

Oleh karena sebagian besar anggaran yang digunakan oleh DPRD berasal dari PAD, maka uang itu artinya berasal dari rakyat Garut. Uang itu antara lain dari keluarga Heryanto yang pada bulan Agustus 2003 harus menggantung diri karena tidak bisa membayar biaya ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500, tambah Abdul Halim.

Keprihatinan MUI Garut mulai terlihat dari isi rekomendasi hasil Rapat Kerja Daerah MUI Garut 19-21 Juni 2003, semakin bertambah ketika ditemukan berbagai indikasi manipulasi dalam penyusunan anggaran keuangan di DPRD Garut. Indikasi manipulasi ini terutama terlihat dari dilanggarnya rambu-rambu penyusunan anggaran keuangan DPRD, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Pelanggaran itu, misalnya, muncul dalam bentuk biaya perjalanan dinas pindah dalam pos belanja pegawai DPRD. Besar biaya perjalanan dinas pindah ini pada tahun 2001 mencapai Rp 726,05 juta dan Rp 1,748 miliar pada tahun 2002. Sampai sekarang saya masih bingung, apa yang dimaksud dengan biaya perjalanan pindah ini? kata Abdul Halim.

Kebingungan ini muncul karena istilah perjalanan dinas pindah tidak dikenal dalam PP No 110 itu. Dalam Pasal 14 Ayat (1) hanya dinyatakan bahwa untuk kelancaran tugas DPRD, pada belanja Sekretariat DPRD disediakan anggaran untuk belanja pegawai, belanja barang, biaya perjalanan dinas, biaya pemeliharaan, dan biaya penunjang kegiatan.

Berbagai biaya seperti yang tercantum dalam Pasal 14 Ayat (1) PP No 110 semuanya sudah ditulis dalam belanja sekretariat DPRD. Misalnya, biaya perjalanan dinas tahun 2001 mencapai Rp 177,491 juta dan Rp 193,495 juta untuk tahun 2002. Pada tahun 2003, DPRD Garut memang sudah menghilangkan pos biaya perjalanan dinas pindah ini. Masalahnya, anggaran biaya perjalanan dinas pada tahun itu tiba-tiba melonjak menjadi Rp 3,4625 miliar atau hampir 18 kali lipat jika dibandingkan dengan biaya perjalanan dinas tahun 2002.

Jika anggaran perjalanan dinas tahun 2003 itu dibagi rata untuk 45 anggota DPRD Garut, maka setiap bulan biaya perjalanan dinas satu anggota DPRD mencapai Rp 6,414 juta atau Rp 214.000 per hari, kata Abdul Halim. Seandainya semua biaya perjalanan dinas itu digunakan secara benar, maka sepanjang tahun 2003 tidak akan ada anggota DPRD yang dapat masuk kantor. Sebab, setiap hari mereka semua harus mengadakan perjalanan dinas. Dan, bagi para anggota DPRD satu bulan bukan 30 hari, melainkan 40 hari karena uang saku biaya perjalanan dinas anggota DPRD hanya sekitar Rp 150.000 per hari.

Kejanggalan lain, menurut Abdul Halim, juga terlihat dalam besar biaya penunjang kegiatan DPRD Garut. Dalam Pasal 14 Ayat (3) PP No 110/2000 disebutkan, besar biaya penunjang kegiatan DPRD ditetapkan berdasarkan PAD. Untuk daerah yang memiliki PAD antara Rp 20 miliar dan Rp 50 miliar per tahun, besar anggaran penunjang kegiatan antara Rp 400 juta dan satu persen dari nilai PAD.

Jika PAD Garut tahun 2003 sebesar Rp 30,102 miliar, maka besar anggaran penunjang kegiatan seharusnya hanya Rp 400 juta. Pada tahun 2002, ketentuan itu memang masih dipenuhi, tapi di tahun 2003 tiba-tiba anggaran penunjang kegiatan melonjak menjadi Rp 3,758 miliar atau lebih dari sembilan kali lipat besar anggaran penunjang kegiatan tahun 2002 yang hanya Rp 400 juta, kata Abdul Halim.

SEJUMLAH anggota DPRD Garut tutup mulut ketika ditanya mengapa lonjakan anggaran keuangan itu sampai terjadi. Mereka juga menolak menjawab secara pasti untuk apa uang yang didapat dari lonjakan itu. Saya tidak tahu secara pasti karena dahulu tidak ikut menyusunnya, kata Wawan Syafei, anggota Panitia Anggaran DPRD Garut.

Hal senada disampaikan Ofie Firmansyah, anggota DPRD Garut lainnya. Ofie hanya menyatakan siap datang ke kejaksaan untuk dimintai keterangan jika suatu saat dipanggil.

Pernyataan serupa disampaikan Mahyar Suara, Wakil Ketua DPRD Garut yang telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus ini. Masalah ini sudah masuk wilayah hukum sehingga saya tidak akan banyak berkomentar, kata Mahyar. Nanti dituduh ingin mempengaruhi proses hukum.

Mahyar mengatakan, sebagai warga negara dirinya siap datang ke kejaksaan dan menjalani semua proses hukum yang akan berlangsung dalam pengusutan kasus ini. Kesiapan menjalani proses hukum juga ditegaskan Bupati Garut Agus Supriadi melalui Kepala Subbagian Humas dan Protokoler pada Bagian Umum Pemerintah Kabupaten Garut Gania Karyana. Pak Bupati sudah memutuskan akan menyerahkan semua kasus ini kepada hukum yang berlaku, katanya.

Gania menuturkan, sebagai bentuk dukungan Pemkab Garut terhadap pengusutan kasus ini secara hukum, Bupati Garut akan selalu mengizinkan jika Kejari Garut meminta keterangan tentang kasus ini dari kalangan pejabat eksekutif.

Sampai sekarang beberapa pejabat di lingkungan Pemkab Garut sudah diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini. Mereka mulai dari asisten daerah, kepala bagian pembukuan, sampai dengan kepala subbagian keuangan. Agus Supriadi sendiri, menurut Gania, dipastikan tidak akan dapat menjelaskan secara pasti mengapa kebobolan anggaran keuangan itu sampai terjadi. Pasalnya, Agus baru dilantik menjadi bupati pada Januari 2004 atau setelah dugaan penyelewengan itu terjadi.

Namun, seorang sumber Kompas yang enggan disebut namanya menjelaskan, sebenarnya eksekutif sudah lama mengetahui adanya pelanggaran dalam pengelolaan dan penyusunan anggaran keuangan di DPRD Garut. Namun, dengan alasan takut dituduh tidak memenuhi permintaan DPRD, hal itu dibiarkan saja.

Jika ada pejabat yang dituduh tidak memenuhi permintaan DPRD, nasibnya akan fatal. Sebab, pengangkatan pejabat di DPRD Garut saat itu tidak hanya ditentukan bupati, namun juga ada campur tangan anggota DPRD. Ketika itu bupati amat sulit menolak keadaan ini karena beliau juga

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan