Penjahat Menang Pemilu

Demikian headline Front line India, 30 Maret 2000. Dalam liputan utama itu disebutkan, para pemilih tampaknya tidak peduli dengan kejahatan dan korupsi yang dilakukan oleh calon legislatif. Nama-nama seperti Suraijbhan Singh, Ranjan Tiwary, Dhumal Singh, Rama Singh, menang dengan perolehan suara yang signifikan sekalipun menjadi tersangka penculikan, pemerasan, dan korupsi.

Berhasil tidaknya sistem perwakilan ini menjadi taruhan besar bagi rakyat. Jika penjahat—biasa kita sebut dengan politisi busuk—menguasai legislatif, ibarat melepas buaya buas di dalam rumah sendiri. Mereka memegang kekuasaan penting dalam hal legislasi, penganggaran, dan kontrol terhadap eksekutif. Pengalaman sudah menunjukkan, bagaimana kebijakan-kebijakan yang tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat miskin, anggaran yang disusun penuh dengan korupsi, dan rendahnya fungsi kontrol kinerja pemerintahan. Akibatnya seluruh tatanan negara tidak lagi menjadi alat perjuangan rakyat untuk menegakkan kedaulatannya.

Wajah demokrasi memang acapkali tidak ramah kepada rakyat. Pada negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai kampiun demokrasi sekalipun, menjadikan pemilihan umum sebagai mekanisme rakyat untuk memilih wakil yang memperjuangkan kepentingan mereka bukanlah hal yang sederhana. Berbagai skandal kecurangan politisi terungkap semacam Watergate dan Enrongate
Di negara-negara pasca kolonial wajah demokrasi lebih suram lagi. Demokrasi bukan merupakan “masterpiece” dinamika ekonomi, politik dan budaya lokal. Ia lebih merupakan hasil evolusi dari pencangkokan sistem politik oleh kolonialis untuk tujuan penghisapan sumber daya ekonomi rakyat. Sebagai konsekuensi logis feodalisme yang berwajah demokrasi, kultur politik dan kelas menengah yang kuat sebagai pondasi demokrasi modern, sangatlah rapuh.

Belum kokohnya kultur demokratis, menjadikan rakyat gamang dalam mensikapi Pemilu sehingga gagal mejadikan Pemilu sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka dengan menghukum politisi busuk dan mendukung politisi bersih. Diujung tahun 2003, The Asia Foundation bekerjasama dengan AC Nielsen, menunjukkan fakta tersebut. Salah satu temuan penting survey pemilih yang mereka lakukan adalah: masyarakat tidak berharap banyak dari politik. Sejumlah 42 persen masyarakat memilih karena alasan kewajiban warga negara, sementara hanya 6 % yang memilih atas dasar keinginan mempengaruhi issue-issue tertentu yang berkorelasi dengan perjuangan kepentingan mereka.
Kegamangan masyarakat dilengkapi oleh belum dewasanya infrastruktur politik. Partai politik gagal dalam merumuskan dan mengkomunikasikan ideologi, platform dan strategi perjuangan secara clear kepada para konstituen mereka. Uniknya, partai juga melupakan sesuatu yang paling penting dalam menggalang suara yakni menunjukkan partai tersebut different dengan partai lainnya. Pada survey yang sama disebutkan, hanya 25 % calon pemilih yang memahami perbedaan antara partai-partai. Jika informasi tentang partai sangat minim, bagaimana dengan informasi calon legislatif yang mereka jagokan?

Jika demikian halnya, mengapa Pemilu dengan cara mencoblos partai dan nama relatif berhasil dilaksanakan? Sayangnya belum ada survey yang objektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimana dengan swing voters? Swing voters memang menunjukkan kesadaran demokratis pemilih, namun hal ini baru terjadi terutama di kota-kota besar dimana arus informasi relatif mudah diakses oleh pemilih.
Apapun alasannya, yang pasti jika seorang politisi busuk dapat melenggang ke gedung rakyat ada sesuatu yang salah dalam sistem demokrasi kita. Pertama, sistem pemilu tidak menjamin calon legislatif dengan perolehan suara terbanyak lolos (kecuali mencapai BPP). Politisi busuk yang berada pada no urut jadi, tentu tinggal ongkang-ongkang kaki dan tersenyum melihat caleg urutan dibawahnya terengah-engah mengais suara untuknya. Tidak adil memang. Tapi itulah aturan yang dirancang untuk melanggengkan status quo dan dipaksakan untuk dijunjung tinggi orang yang dirugikan.

Kedua, asymmetrical information. Pemilih tidak mendapatkan informasi yang memadai atau justeru mendapat informasi yang menyesatkan tentang partai dan calegnya. Hal ini tentu kesalahan besar negara. Pemerintah pusat maupun daerah mengalokasikan anggaran yang sangat besar bagi partai-partai pemenang Pemilu sebelumnya. Sementara hampir tidak ada anggaran yang digunakan untuk memfasilitasi rakyat mengenal partai dan calegnya. Pemerintah beralasan bahwa tugas partai-lah yang melakukan itu. Tapi pemerintah sangat ceroboh karena melupakan perbedaan informasi dengan advertensi. Kedua kata itu memang seolah-olah beda tipis, tetapi secara substantif memiliki pengertian yang bertolakbelakang menyangkut nilai-nilai kejujuran. Akibatnya, partai dan caleg yang bersih sering dikalahkan oleh partai dan caleg yang memasang iklan lebih banyak.

Ketiga, money politics yang dilakukan untuk vote buying maupun candidation buying. Hasil pemantauan pemilu yang dilakukan oleh SOBAT (Solidaritas Bersama Untuk Transparansi) menunjukkan betapa partai dan kandidat sangat kreatif dalam melakukan money politics. Khususnya partai besar, kegiatan ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum kampanye. Ironisnya, mereka melakukan eksploitasi terutama pada lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Memberikan donasi kepada madrasah, pondok pesantren, dan masjid dengan komitmen dukungan. Partai besar yang berkuasa juga seringkali mengelabui rakyat dengan mengklaim bantuan pemerintah sebagai bantuan partai atau caleg.

Keempat, feodalisme. Pola hubungan patron-klien yang dilandasi oleh faktor kultural maupun hubungan ekonomi masih cukup signifikan mempengaruhi perilaku pemilih. Pemilih tidak menggunakan hak pilih atas dasar pertimbangan rasional. Faktor kultural biasanya menciptakan “kesadaran palsu”, keberpihakan tanpa reserve. Sementara faktor hubungan ekonomi, dalam beberapa hal memberikan “ancaman” baik secara langsung maupun dalam bentuk kesadaran atas ketergantungan ekonomi terhadap patron. Seperti iklan sebuah teh botol, apapun partainya coblosnya tetap …

Apa artinya ?
Per teori, legislatif adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat yang berfungsi mengejawantahkan kedaulatan rakyat melalui proses akomodasi, agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat ke dalam kebijakan publik.

Dengan analisis yang terurai diatas, kita bisa mengajukan pertanyaan kritis. Meskipun secara legal prosedural terpilih, benarkah mereka mengemban amanah sejati rakyat? Kesadaran ini penting bagi anggota legislatif untuk tidak secara gegabah bahkan dengan kesombongan mengklaim sebagai pemegang mandat rakyat. Realitas ini sering sekali terjadi. Ketika mereka mendapatkan kritik dari anggota masyarakat, jawabannya adalah,” Anda mewakili siapa ? Saya ini pilihan rakyat”. Logika ini sayangnya cukup efektif untuk membunuh kesadaran partisipasi masyarakat.
Kesadaran akan distorsi demokrasi ini modal penting bagi legislatif terpilih untuk lebih mendekatkan diri kepada rakyat. Terpilih bukan berarti seluruh gagasan yang dimilikinya telah disetujui oleh rakyat. Karena itu, secara individual maupun institutional, legislatif harus mengembangkan secara kreatif teknologi partisipasi agar menemukan, apa sejatinya yang diinginkan rakyat?

Bagaimana dengan politisi busuk terpilih ?
Banyak diantara politisi kita yang tidak bertujuan memperjuangkan ide tertentu, melainkan motif kepentingan kekuasaan pribadi tanpa keinginan melayani publik. Karena itu rakyat berhadapan dengan pilihan buruk atau sangat buruk. Rakyat tidak memiliki pilihan baik atau buruk. Dengan demikian selalu ada politisi busuk yang terpilih.

Oleh karena itu, pengembangan sistem transparansi dan akuntabilitas legislatif perlu mendapat perhatian extra untuk mencegah tercapainya tujuan-tujuan illegal mereka. Beberapa indicator yang dikembangkan Jeremi Pope (Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System, 2000) berikut ini perlu kita renungkan :

- Adakah undang-undang yang mengatur konflik kepentingan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang? Hal ini untuk memantau, apakah kebijakan yang dihasilkan (khususnya menyangkut keuangan) ditentukan oleh kepentingan pribadi?
- Apakah ada pemantauan kepentingan pribadi dan kekayaan pribadi legislatif terpilih dan anggota keluarga terdekat?
- Apakah sidang komisi/pleno dan laporannya (khususnya berkaitan dengan keuangan publik) terbuka untuk publik?
- Apakah ada akses dan peran serta public dalam pengambilan keputusan?
- Adakah mekanisme masyarakat untuk memanggil anggota legislatif yang terpilih untuk berkunjung ke daerah pemilihannya?

Bagaimanapun, peran pengawasan publik yang konsisten dan berkesinambungan adalah faktor terpenting. Melalui pengawasan publik, berbagai kecurangan legislatif yang terungkap setidaknya akan mendelegitimasi kedudukan mereka. Publikasi secara terus-menerus akan memberikan “tabungan” kesadaran politik rakyat untuk menghukum mereka pada pemilihan umum mendatang.Bersamaan dengan itu penegakan hukum terhadap penyalahgunaan wewenang legislatif juga terus diupayakan.

Ada baiknya anggota legislatif terpilih mendengar pesan Will Rogers, “Walaupun Anda di jalur yang benar, anda akan dilindas bila hanya duduk dan berdiam diri disana.” [Gatot Sulistoni]

Tulisan ini merupakan opini di Koran RAKYAT terbitan Somasi-NTB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan