Peniup Peluit Harus Dilindungi
Ada dua kegiatan pada Rabu, 21 April, terkait peniup peluit. Pertama, penganugerahan Whistleblower Award oleh Komunitas Pengusaha Antisuap kepada Susno Duadji. Kedua, seminar ”Pemberlakuan Mekanisme Pembuktian Terbalik dan Perlindungan Whistleblower” di Universitas Indonesia.
Tampak bahwa keberadaan peniup peluit sangat diperlukan agar berbagai kecurangan atau kejahatan dapat dihentikan. Namun, laporan seorang peniup peluit harus berdasarkan fakta dan demi kepentingan yang lebih luas sehingga tidak disalahgunakan untuk pembunuhan karakter lawan politik, bisnis, atau memperoleh keuntungan tertentu.
Saat ini, tidak banyak orang yang bersedia menjadi peniup peluit. Beberapa faktor penyebabnya (1) peniup peluit biasanya orang dalam atau sesama pelaku yang tergugah hatinya atau dikecewakan pelaku lainnya; (2) peniup peluit menghadapi risiko tak kecil, sering mempertaruhkan nyawa, keluarga, dan masa depan; (3) kejahatan yang biasanya menimbulkan kerugian besar dan sulit diungkap, seperti korupsi, pencucian uang, narkoba, dan perdagangan manusia, merupakan kejahatan kerah putih. Kejahatan ini biasanya terorganisasi, terencana, penuh perhitungan, dan sering terkesan legal.
Dalam seminar disampaikan bahwa peniup peluit perlu dilindungi. Pembicara menyarankan perlunya penyempurnaan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi, ”Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.” Pembicara lain mengusulkan penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Peniup peluit yang beriktikad baik tidak hanya perlu dilindungi, tetapi wajib dilindungi. Usaha mewujudkannya terlihat dari lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan ihwal perlindungan pelapor. Memang masih harus disempurnakan, misalnya dengan pembuatan peraturan pelaksana. Juga telah berdiri lembaga dengan mandat khusus melindungi saksi dan korban.
Pengalaman Amerika
Amerika Serikat sebagai negara yang sering dijadikan acuan memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan mengenai ini. Mulai dari UU federal sampai negara bagian, seperti The Whistleblower Protection Act of 1989, California False Claims Act.
Pengertian peniup peluit tidak hanya bagi mereka yang menyampaikan laporan kepada penegak hukum dalam kasus pidana, tetapi juga pengungkap perbuatan salah di dalam organisasi atau masyarakat. Perbuatan salah dapat dikategorikan dalam beberapa jenis: melanggar hukum, peraturan, dan regulasi atau mengancam kepentingan publik, seperti korupsi.
Peniup peluit dapat menyampaikan dugaan melalui mekanisme internal organisasi, kepada aparat penegak hukum, melalui media massa, atau kepada kelompok pemerhati isu tersebut. Peraturan di AS memungkinkan seseorang menyampaikan laporan dengan perlindungan identitas. Pelapor juga dilindungi dari berbagai bentuk perlakuan buruk dalam pekerjaannya, seperti diberhentikan, diturunkan jabatan/gajinya, atau dikucilkan.
Peniup peluit tak hanya dapat perlindungan hukum. Ia juga berhak mendapat imbalan. Berdasarkan False Claim Act, peniup peluit berhak atas imbalan 15-30 persen dari nilai yang berhasil diselamatkan atas laporannya.
Di Indonesia
Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui hak-hak dan keberadaan pelapor serta perlindungannya. Misalnya,
UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kemudian, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan PP No 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi pelapor, ada perbedaan pengertian antara pelapor di Indonesia dan whistleblower. Seseorang hanya dapat disebut pelapor apabila telah menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum atau komisi. Adapun mereka yang mengungkapkan informasi kepada publik—bukan kepada aparat penegak hukum—tidak disebut pelapor, dan peraturan di atas tidak melindungi mereka.
Perlindungan lengkap hanya diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi dan/atau pencucian uang, sedangkan untuk tindak pidana lainnya diatur di Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban berupa perlindungan terbatas, yaitu proteksi hukum semata.
Artinya tidak dituntut secara pidana ataupun perdata atas laporan yang disampaikan dengan iktikad baik. Bahkan, pelapor yang laporannya tidak masuk kategori pidana, tidak mendapat perlindungan.
Ini berbeda dengan pelapor tindak pidana korupsi dan tindak pidana money laundering yang berhak mendapat jaminan keamanan, mengganti identitas, evakuasi, serta perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata (imunitas) dan menuntut kerugian apabila ada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk aparat penegak hukum, membocorkan identitas mereka sebagai pelapor.
Untuk tindak pidana korupsi dan money laundring, menurut UU Tipikor dan UU KPK serta UU TPPU dan Peraturan Pelaksananya, perlindungan pelapor dilakukan oleh KPK, PPATK bersama dengan kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya. Namun, sejak ada UU No 13 Tahun 2006, pelapor sekaligus saksi dan/atau korban dapat meminta perlindungan LPSK.
Peraturan perlindungan pelapor yang tersebar dan dengan mekanisme yang berbeda-beda itu sangat membingungkan dan menyulitkan. Bahkan, dapat berimplikasi tidak berjalannya perlindungan terhadap pelapor. Karena itu, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang lebih sederhana dan proaktif.
Untuk itu, parlemen bisa segera menyempurnakan UU No 13 Tahun 2006 sekaligus memperkuat kelembagaan dengan menjadikan sekretariat LPSK setingkat posisi eselon satu dan memberikan dasar hukum pembentukan organisasinya seperti struktur organisasi KPK sehingga pegawai LPSK tidak hanya berasal dari PNS, tetapi juga kalangan profesional.
Hal lain yang juga penting adalah para pelapor mendapat penghargaan. PP 71 Tahun 2000 telah menetapkan, penghargaan dapat diberikan dalam bentuk sertifikat, tanda jasa, ataupun uang. Namun, ini masih terkendala pedoman teknis pelaksanaan yang belum terbit.
Semoga kondisi saat ini dapat menjadi momentum untuk mewujudkan perlindungan pelapor, pemberantasan kejahatan, dan penegakan hukum untuk keadilan bersama.
Abdul Haris Semendawai Ketua LPSK
Tulisan ini disalin dari Kompas, 29 April 2010