Peniup Peluit Dapat Keringanan

Lembaga penegak hukum di Indonesia sepakat memberikan perlindungan dan keringanan hukum kepada whistle blower (peniup peluit) dan pelaku kejahatan pelapor (justice collaborator).

Jika memungkinkan, mereka bisa mendapatkan penggantian identitas total. Alasannya, mereka berperan penting dalam membantu mengungkap kasus-kasus besar yang telah merugikan masyarakat.Keterangan whistle blower mempercepat kasus yang tadinya terhambat karena aparat hukum kekurangan bukti.

Lembaga-lembaga tersebut adalah Kejaksaan Agung, kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Mahkamah Agung (MA), dan Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisis Keuangan (PPATK).

Kesepakatan yang mereka tanda tangani sebelum digelar Workshop Perlindungan Whistle Blower sebagai Justice Collaborator kemarin di Jakarta akan diwujudkan dalam instruksi presiden (inpres) dan surat keputusan bersama (SKB).

“Setiap informasi yang diberikan pelaku pelapor dan peniup peluit dinilai penting, khususnya untuk membantu aparat dalam mengungkap kejahatan,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.

Kesepakan antarlembaga penegak hukum ini merupakan tindak lanjut dari Inpres No Instruksi Presiden No 9/ 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Targetnya,SKB tersebut akan rampung disusun oleh Kejagung pada Desember 2011 dan bisa efektif untuk menggenjot target pemberantasan kasus-kasus kejahatan khususnya korupsi. Hingga saat ini,LPSK mengakui perlindungan terhadap whistle blower belum memadai.

Padahal jika para peniup peluit ini mendapat perlindungan maksimal, aparat penegak hukum akan semakin mudah membongkar kejahatan. Pilihan untuk menjadi whistle blower, menurut Semendawai, mempunyai banyak konsekuensi, apalagi jika membongkar kejahatan yang pelakunya terorganisasi seperti terorisme dan narkotika.

Karena itulah perlu penanganan khusus dan penghargaan. Bentuknya pemberian keringanan hukuman semisal pemberian grasi, remisi (pembebasan bersyarat), serta keringanan hukuman dalam proses peradilan. Jika memungkinkan, whistle blower juga bisa mendapatkan pergantian identitas total.

Ketua MA Harifin Tumpa mengatakan, pihaknya akan memberikan surat edaran kepada para hakim agar memberikan keringanan hukuman bagi whistle blower yang memberikan kesaksian untuk pengungkapan sebuah kasus. Saat ini surat edaran sedang disusun dan akan mulai beredar pada Agustus mendatang.

“Mengacu pada Pasal 10 UU 13/2006,whistle blower dipertimbangkan mendapat keringanan hukuman. Mereka membantu kasus yang kurang alat buktinya,”ujar dia. Sepatutnya,menurut Tumpa, orang yang bekerja sama membongkar sebuah kejahatan mendapat keringanan hukuman meskipun terlibat.

Keberadaannya, selain mengungkap membantu mengungkap kasus, juga mendorong orang lain untuk mengungkap kejahatan yang terorganisasi yang meresahkan masyarakat. Dalam dunia kriminal, keberadaan kelompok kejahatan yang terorganisasi selalu merepotkan aparat penegak hukum karena sulit untuk menemukan bukti.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, salahsatu bentuk penghargaan terhadap whistle blower atau justice collabrator adalah dengan memberikan penempatan yang diinginkan dari lembaga pemasyarakatan. Termasuk perlakukan yang berbeda dan terpisah dari narapidana lain.

Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana menyatakan, pihaknya bersama LPSK juga telah mendorong perihal perlindungan whistle blower ini dalam revisi Undang-Undang Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Semoga ada percepatan revisi UU No 13/2006.Undang undang ini masih perlu diperkuat dengan jaminan dan pengaturan lebih efektif,” papar Denny. mnlatief 
Sumber: Koran Sindo, 20 Juli 2011
----------------
Whistleblower Ungkap Kasus Besar
Para Whistleblower atau  “peniup terompet” kejahatan bisa berpotensi mengungkap kasus besar dengan pola sindikat dan terorganisasi. Pasalnya, selama ini aparat penegak hukum sering kesulitan mengungkap tindak kejahatan terorganisasi.

Keberadaan Whistleblower yang juga selaku  pelapor pelaku adalah kunci untuk mengungkap hal tersebut. Karenanya  pelaku yang bekerja sama ini perlu mendapat keistimewaan dalam penanganannya, termasuk mendapatkan keringanan hukuman.

“Whistleblower perlu dapat keringanan, keberadaan mereka membantu mengungkap, dia dianggap pahlawan yang mendorong dan mengungkap kejahatan terorganisir yang terjadi, seperti korupsi, mafia hukum, dan narkotika,” papar Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa dalam sambutan pada acara penandatanganan  kesepakatan bersama perlindungan whistleblower sebagai justice collabolator oleh unsur Mahkamah Agung, Polri, Jaksa Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Penandatanganan pernyataan bersama ini juga disaksikan  Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto dan Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto di Jakarta, Selasa (19/7). (D3-80)
Sumber: Suara Merdeka, 20 Juli 2011
---------------
Penegak Hukum Sepakat Lindungi Pelapor Kejahatan
Sejumlah pemimpin lembaga penegak hukum kemarin menandatangani kesepakatan tentang perlindungan terhadap para pelapor dan pengungkap kasus kejahatan.

Kesepakatan diteken oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa, Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, serta Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai.

Penandatanganan kesepakatan disaksikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto serta Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto.

Ketua LPSK Abdul Haris mengatakan ada dua kategori pengungkap kejahatan yang dilindungi, yaitu justice collaborator dan whistle blower. Justice collaborator merupakan pihak yang menjadi bagian dari kelompok kejahatan. Adapun whistle blower bisa berasal dari luar kelompok ataupun dari dalam kelompok itu. "Akan kami bedakan perlakuan bagi mereka," kata Abdul Haris.

Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa mengatakan pelapor yang merupakan bagian dari lingkaran kejahatan akan dipertimbangkan untuk diberi keringanan hukuman. "Itu terobosan." Mahkamah Agung, kata Harifin, akan mengeluarkan surat edaran agar para hakim di semua tingkat pengadilan bisa melaksanakan perlindungan itu.

Selanjutnya, LPSK akan membantu menjelaskan edaran Mahkamah Agung itu kepada pengadilan di daerah. Dengan cara itu, dalam menjatuhkan vonis, hakim diharapkan bisa membedakan pelaku kejahatan yang mau bekerja sama dengan yang tidak. "Akan ada gradasi yang jelas," ujar Abdul Haris.

Perlindungan bagi para pengungkap kasus kejahatan, menurut Abdul Haris, sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. "Sudah eksis, tapi belum dibuat turunannya," kata Abdul Haris.

Menurut UU Nomor 13 Tahun 2006, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak bisa dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti bersalah. Tapi kesaksiannya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman. Sejumlah kalangan menganggap aturan seperti ini belum cukup melindungi para "pemukul kentongan" itu.

Di Indonesia, menurut Abdul Haris, yang bisa digolongkan sebagai whistle blower sejauh ini masih kurang dari sepuluh orang. Di antara mereka adalah Agus Condro Prayitno. Bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang membongkar kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom.

Pengacara Agus Condro, Firman Wijaya, menyambut positif kesepakatan mengenai whistle blower dan justice collaborator itu. "Terima kasih, karena itu berarti memberikan perhatian kepada orang seperti Agus Condro," kata Firman. ATMI PERTIWI | ISMA SAVITRI

Sumber: Koran Tempo, 20 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan