Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa

Akhir-akhir ini media massa diramaikan dengan kontroversi peninjauan kembali atas putusan perkara pidana. Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang terpidana untuk mohon peninjauan ulang atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan final. Putusan itu dapat berupa putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, juga dapat berupa putusan Mahkamah Agung RI yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). KUHAPidana sebagai hukum acara pidana hanya membolehkan terpidana atau ahli warisnya sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Pasal 263 ayat (1) KUHAPidana). Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali adalah sebagai berikut (Pasal 263 ayat (2) KUHAPidana): 1. Apabila ada "keadaan baru" atau novum; 2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan; 3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.

Perintah KUHAPidana sudah jelas bagi seorang terpidana yang dihukum salah diberi kesempatan terakhir atau paling akhir untuk menempuh upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Ini didasarkan pemikiran bahwa dalam negara hukum (rechsstaat), di mana negara dan individu ditempatkan sejajar (equality before the law) mengingat negara diberi kekuasaan untuk menjalankan hukum termasuk menghukum terpidana melalui putusan pengadilan, maka hak mengajukan upaya peninjauan kembali itu hanya diberikan kepada seorang terpidana. Sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dijatuhkan yang menghukum seorang terdakwa atau terpidana, instansi lain yaitu kepolisian sudah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadapnya yang disusul dakwaan dan tuntutan oleh kejaksaan serta pemenjaraan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dengan perangkat tadi dan kewenangan menghukum dan memenjarakan seorang terpidana, negara telah diberi kekuasaan dan kewenangan begitu besar untuk memenjarakan seseorang, yang berarti merampas dan membatasi kemerdekaan seseorang demi hukum (putusan pengadilan yang tetap).

Oleh karena itu, seorang terpidana perlu diberi kesempatan terakhir atau paling akhir untuk mengajukan peninjauan kembali dalam hal ada alasan-alasan untuk itu menurut ketentuan dalam KUHAPidana dan negara c.q. Kejaksaan tidak diberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali.

Konsep kesetaraan antara individu dan negara di dalam negara hukum inilah yang harus dipegang teguh dalam perdebatan tentang apakah jaksa boleh mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau jaksa memaksakan untuk mengajukan peninjauan kembali maka asas keseimbangan (audi et alteram partem) sebagaimana yang dianut KUHAPidana telah dilanggar, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid).

Sebagai suatu upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali tidak boleh sembarangan diberikan kepada seorang terpidana karena terdapat syarat-syarat yang ketat sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAPidana. Semakin banyak peninjauan kembali dikabulkan oleh Mahkamah Agung RI, menandakan bahwa putusan pengadilan banyak yang keliru, khilaf dan salah. Demi kepastian hukum dan keadilan (asas kesetaraan antara individu dan negara) maka peninjauan kembali oleh jaksa harus ditolak dalam sistem peradilan pidana kita.

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan terdiri dari empat subsistem yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim serta Petugas Lembaga Pemasyarakatan sudah diberi kekuasaan dan kewenangan yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka seorang yang diancam hukuman atau sedang menjalani hukuman perlu diberi hak untuk membela diri yang terakhir atau paling akhir agar ada keseimbangan dan keadilan bagi individu yang diancam hukuman atau sedang menjalankan hukuman. Oleh karena itu KUHAPidana tidak mengatur mengenai batasan waktu untuk pengajuan  peninjauan kembali. KUHAPidana hanya membolehkan terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali (Pasal 263 ayat (1) KUHPidana). Ketentuan hukum formal tersebut tidak boleh ditafsirkan lain karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid). Kalau aturan main yang diatur KUHAPidana dilanggar, maka akan menimbulkan kekacauan hukum (legal disarray) seperti yang dialami kita sekarang. Dengan demikian, ke depan jangan sampai ada lagi penerimaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa atas putusan yang berkekuatan hukum tetap, di mana hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian bagi terpidana.

Dapat disimpulkan di sini peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa dan bukan pengadilan tingkat empat. Jaksa sudah diberi kesempatan dan kewenangan luas untuk menuntut dan membuktikan terdakwa bersalah, kalau itu tidak dilakukan secara profesional dan serius, maka kekeliruan dan kesalahan itu tidak boleh dibebankan kepada terpidana dengan Jaksa mengajukan peninjauan kembali, dengan demikian Jaksa harus menanggung segala akibatnya.

Akhir kata, dalam negara hukum, individu dan negara harus setara dalam rangka persamaan di hadapan hukum. Alasan penerimaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa demi kepentingan negara adalah menyesatkan, karena dalam negara hukum, kedudukan negara bukanlah di atas individu tetapi setara dengan individu.

Frans H Winarta, Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 5 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan