Pengusutan Kasus BNI Jadi Sorotan FATF [24/06/04]

Keseriusan pengusutan kasus pembobolan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) senilai Rp 1,7 triliun menjadi salah satu kunci utama bagi Indonesia untuk bisa keluar dari daftar hitam pencucian uang.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengatakan, kasus itu menjadi catatan khusus Gugus Tugas Pemberantasan Pencucian Uang (Financial Action Task Force on Money Laundering/FATF) sebelum lembaga internasional ini mengeluarkan daftar baru pada akhir Juni.

Sorotan atas kasus BNI terungkap dalam pertemuan negara-negara anggota FATF di Korea Selatan awal pekan lalu. Mereka bilang, keberhasilan penegakan hukum kasus BNI bisa menjadi credit point bagi Indonesia, kata Yunus di Jakarta kemarin.

Menurut Yunus, keputusan akhir FATF rencananya akan dikeluarkan dalam sidang yang digelar akhir bulan ini. Dalam forum itulah akan diputuskan apakah Indonesia sudah bisa dikategorikan sebagai negara yang bebas dari tindak pidana pencucian uang.

Jika ternyata hingga tenggat itu upaya penegakan hukum kasus BNI menunjukkan kemajuan, Yunus memastikan, Indonesia sulit keluar dari daftar hitam pencucian uang. Kasus ini menjadi image buruk bagi Indonesia, ujarnya. Kendati, diakuinya bahwa proses hukum untuk bisa menyeret para pelaku yang terlibat kasus BNI ke pengadilan memerlukan waktu yang panjang.

Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu mempertanyakan keseriusan Markas Besar Kepolisian RI dalam mengusut kasus pembobolan BNI. Sebab, seperti dituturkan Direktur Utama BNI Sigit Pramono, dari Rp 1,3 triliun sisa dana yang dibobol, belum satu rupiah pun yang bisa diselamatkan. Polisi pun telah menangguhkan penahanan sebagian besar tersangka pembobol bank milik pemerintah itu.

Untuk membahas persoalan itu, kemarin digelar rapat tertutup Panitia Kerja DPR Kasus Pembobolan BNI. Rapat dihadiri Dirut BNI, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution, Kepala PPATK Yunus Husein, serta Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung.

Menurut salah satu anggota Panitia Kerja, Anthony Z. Abidin, rapat merekomendasikan tiga hal. Pertama, mendesak polisi agar memproses kasus itu dengan cepat dan tuntas. Kesan kami, proses hukum berjalan lamban, katanya. Kedua, pengembalian dana yang digelapkan harus optimal. Ketiga, DPR meminta bank sentral meningkatkan pengawasan bank agar kasus serupa tidak muncul lagi.

Yunus juga melaporkan, dalam kasus pembobolan BNI, sejauh ini PPATK sudah menerima 66 laporan transaksi yang mencurigakan. Aliran dana haram itu terjadi lewat transaksi di 12 bank di dalam negeri yang melibatkan 84 orang dengan 143 rekening. Sementara itu, di luar negeri terdapat 16 bank dengan 25 rekening senilai US$ 44,5 juta. Paling besar di Singapura, ujarnya.

Di sisi lain, Yunus mengatakan, pada September mendatang, FATF akan mengkaji kemajuan penerapan amendemen UU Antipencucian Uang di Indonesia yang telah berumur setahun lamanya sejak disahkan parlemen pada 16 September 2003.

Langkah amendemen terhadap UU itu merupakan salah satu upaya Indonesia untuk keluar dari daftar negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pencucian uang. Sebab, dengan predikat yang telah disandang sejak 2001 ini, Indonesia bisa terkena sanksi tindakan balas (counter measures) atas semua transaksi keuangan internasional. bagja hidayat-tnr

Sumber: Koran Tempo, 24 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan