Pengusaha: Memang Banyak Korupsi di Kabupaten Tangerang

Kalangan dunia usaha di Kabupaten Tangerang menyatakan bahwa hasil survei Transparency International Indonesia (TII) benar belaka. Mereka mengaku sebagai korban korupsi di Tangerang.

Salah satu di antaranya A. Nainggolan dari bagian personalia sebuah perusahaan di Kabupaten Tangerang. Dia mengatakan, korupsi kerap sekali terjadi saat ia mengurus perizinan. Nilai yang harus dibayar terkadang dua kali lipat dari biaya yang sebenarnya, ujarnya, Sabtu (19/2). Namun, dia enggan menyebutkan bentuk perizinan dan instansi yang menerbitkan izin tersebut.

Menurut Nainggolan, pihak pengusaha merasakan sekali rumitnya birokrasi dalam mengurus sebuah izin. Sebelum izin keluar, kita harus melalui beberapa meja. Di meja-meja itu kita harus sudah mengeluarkan biaya tanpa tanda terima, ujarnya.

Nainggolan mengibaratkan korupsi di birokrasi sebagai bangkai yang tersembunyi. Hanya bisa tercium baunya tanpa terlihat bentuknya. Begitulah korupsi, dia mengeluh.

Nainggolan mengatakan, perputaran uang di Jabotabek cukup besar, hingga mencapai 60 persen secara nasional. Begitu juga penanaman modal dan investasi--Jabotabek paling tinggi, termasuk Kabupaten Tangerang. Tak aneh jika TII (kemudian) memasukkan Tangerang sebagai salah satu daerah terkorup, ujarnya.

Menurut Nainggolan, retribusi yang tidak jelas pun sangat besar di Tangerang. Baik yang ditarik oleh pemerintah desa maupun oleh pegawai pemerintah daerah.

Menurut Nainggolan, hal semacam itu terjadi juga di tingkat pemerintah desa. Dia mengungkapkan, pemerintah desa tidak mau kalah, berlomba-lomba membentuk peraturan desa untuk mendapatkan pemasukan dari perusahaan yang ada di wilayahnya. Entahlah... apakah retribusi seperti itu dibenarkan atau tidak dan apakah masuk kategori korupsi atau tidak, ungkapnya.

Bagi pengusaha, banyaknya pungutan yang tak resmi bukan persoalan baru. Masalah itu sudah berlangsung lama dan tidak pernah ada penyelesaian, meskipun perusahaan telah mengadukannya ke mana-mana. joniansyah

Sumber: Koran Tempo, 21 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan