Pengumpulan Uang Pascatilang Berpotensi Merugikan Negara

Praktik pengambilan surat izin mengemudi (SIM) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK) pascapenilangan (pascatilang) tanpa melalui persidangan, selama ini terjadi dan diduga berbau korupsi, serta berpotensi merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah. Praktik dugaan korupsi kelembagaan tersebut disinyalir berlangsung selama bertahun-tahun di Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya, serta sejumlah polda lain di Indonesia.

Ditlantas memang disinyalir sebagai direktorat yang rentan praktik korupsi selain Direktorat Reserse Kriminal. Kita mengenal pengambilan SIM dan STNK setelah ditilang tanpa melalui sidang sebagai bentuk pengumpul dan penyetor (putor Red) di lembaga kepolisian, kata Sekretaris Jenderal Indonesia Police Watch, Adnan Pandu Praja, Sabtu (19/2).

Menurut Adnan, putor adalah istilah bagi polisi yang secara institusional diberi kewenangan untuk mencari dana. Termasuk di antaranya pencarian melalui jalur tilang. Ia mensinyalir, dana yang terkumpul dari pengambilan SIM dan STNK tanpa melalui sidang, sebagian atau bahkan seluruhnya, digunakan untuk kepentingan pejabat dan institusi Polri. Padahal, dana tersebut seharusnya masuk ke kas negara.

Adnan mengungkapkan bahwa tidak mungkin praktik penyimpangan tersebut hanya dilakukan oleh oknum-oknum polisi. Praktik tersebut jelas diketahui pejabat Polri.

Untuk menghilangkan prasangka tersebut, polisi hendaknya bisa bersikap transparan. Polisi sudah saatnya memberikan informasi kepada masyarakat mengenai record penilangan selama ini, berapa banyaknya, berapa kali yang bisa diselesaikan di pengadilan, dan berapa kali yang diselesaikan melalui jalan pintas.

Indikasi praktik korupsi dapat dirasakan manakala polisi tak pernah bersedia memberikan data-data tersebut kepada masyarakat. Transparansi ini sudah saatnya dilakukan polisi. Jangankan record tilang, record penanganan kasus pidana di reserse juga tidak pernah disampaikan ke publik. Dengan demikian, dana hasil pengambilan SIM atau STNK juga sangat dimungkinkan tidak sampai utuh ke kas negara, katanya.

Kepala Polda Metropolitan Jaya Inspektur Jenderal M Firman Gani mengungkapkan, adanya kritik terkait korupsi di lingkungan Polri akan dijadikan bahan introspeksi diri. Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala Polda saat menjawab pertanyaan wartawan bahwa Polri adalah lembaga terkorup kedua setelah Bea Cukai, sementara Polda Metropolitan Jaya merupakan barometer bagi polda-polda lain di Indonesia.

Saya beberapa waktu lalu bertemu dengan Pak Gubernur (Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso - red) bahwa penelitian itu tak bisa disalahkan karena 75 persen peredaran uang di Jakarta. Begitu pula dengan mekanisme kerja, kantor, departemen, institusi lain, dan pedagang semuanya ada di Jakarta, kata Firman.

Menurut dia, kalau kemudian dikatakan juga bahwa dalam institusi Polri juga ada korupsi - khususnya di Polda Metropolitan Jaya - hal tersebut menjadi bahan introspeksi diri.

Kepala Bidang Humas Polda Metropolitan Jaya Komisaris Besar Tjiptono menambahkan, pada prinsipnya pelayanan merupakan roh dan jiwa polisi. Roh tersebut akan menghilang dengan sendirinya bila polisi mengesampingkan peran pelayanan. Bila polisi bekerja tanpa mengedepankan pengabdian dan pelayanan, secara otomatis akan bekerja sekadarnya tanpa mau melayani.

Dilengkapi loket
Berdasarkan pengamatan Kompas selama empat hari - dari 15 - 18 Februari 2005 - terungkap bahwa terjadi pengambilan SIM atau STNK dalam setiap kali ada calo atau polisi lalu lintas merangkap sebagai calo yang mengambilkan SIM atau STNK milik orang lain, yang ditilang petugas.

Di Polda Metropolitan Jaya sendiri, praktik pengambilan SIM dan STNK tanpa melalui sidang berlangsung di ruang 271 dan Patwal Polda. Para petugas yang ditempatkan di sana sanggup melayani pengambilan SIM dan STNK dari pukul 08.30 hingga 16.00, setiap hari, kecuali pada Sabtu, Minggu atau hari libur nasional.

Ruang 271, bahkan dilengkapi loket darurat, yang merangkap sebagai pintu ruangan. Para calo, masyarakat umum, atau petugas yang hendak mengambil SIM atau STNK yang ditilang, tinggal datang ke ruangan itu dan menyodorkan surat tilang warna merah. Setelah itu, mereka tinggal duduk 5 - 20 menit, tergantung ramai sepinya 'pengunjung.

Di ruang 271 tersebut, tempat duduk bagi para calo dan pengambil SIM atau STNK tersebut juga disediakan. Panjangnya sekitar lima meter. Umumnya, calo atau orang yang akan mengambil SIM atau STNK menunggu di sana. Begitu nama pemilik SIM atau STNK dipanggil, mereka tinggal mengambilnya.

Nilai uang untuk menebus SIM atau STNK yang disandera karena kasus pelanggaran lalu lintas bervariasi. Misalnya saja, untuk kategori melanggar rambu lalu lintas dan terkena satu pasal, serta SIM C mereka ditahan, bakal dikenai Rp 30.000 - Rp 35.000 untuk menebusnya. Sedangkan SIM C dengan dua pasal pelanggaran, dikenakan biaya Rp 50.000. Denda yang sama berlaku saat STNK ditahan.

Sementara untuk pengemudi kendaraan roda empat, tarifnya berbeda. Pengemudi yang melanggar rambu lalu lintas dan dinyatakan melanggar satu pasal serta penyitaan SIM A, dikenai biaya Rp 50.000. Untuk dua pasal pelanggaran dikenakan biaya pengambilan Rp 75.000. Denda yang sama juga diberlakukan saat STNK kendaraan ditahan.

Pengemudi yang melanggar kawasan berpenumpang terbatas (three in one) dikenai denda pengambilan biaya SIM atau STNK Rp 50.000. Sedangkan untuk pengemudi atau penumpang kendaraan pribadi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan di kenakan biaya pengambilan Rp 75.000. Harga pengambilan SIM atau STNK yang sama juga berlaku di Patwal Ditlantas Polda Metropolitan Jaya.

Dalam pengamatan selama empat hari, dalam satu jam rata-rata terdapat sekitar 30 SIM atau STNK yang diambil di ruang 271. Dengan asumsi satu bulan kerja 22 hari, diperkirakan total SIM dan STNK yang diambil di ruang 271 mencapai 660 buah. Dalam setahun mencapai jumlah 7.920 buah. Bila rata-rata dana yang terkumpul dari pengambilan SIM dan STNK mobil serta motor besarnya Rp 50.000, maka dalam setahun dana yang terserap Rp 396 juta.

Nilai uang tersebut hanya untuk pengambilan SIM dan STNK di ruang 271, belum yang di Patwal, Kepolisian Resor Bekasi, dan Tangerang. Praktik. Praktik pengambilan SIM dan STNK tanpa melalui persidangan tersebut diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun dan diperkirakan bisa terkumpul hingga puluhan miliar rupiah.

Saya tidak yakin dana tersebut semuanya masuk ke kas negara, apalagi tanpa melalui sidang. Namun, polisi juga seharusnya memberikan perinciannya supaya transparan dan tidak timbul rasa curiga. Maraknya praktis pengambilan SM atau STNK tanpa melalui sidang menunjukkan lemahnya kontrol internal Polri, kata Adnan.(TIM KOMPAS)

Sumber: Kompas, 21 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan