Penguatan Pemberantasan Korupsi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berulang kali menegaskan tidak boleh ada upaya apa pun, oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun yang bertujuan melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi justru harus terus dikuatkan sebagai salah satu pilar utama kita untuk terus menuju bangsa yang besar dan makin demokratis. Maka, jika akhir-akhir ini muncul wacana bahwa agenda pemberantasan korupsi sedang dilemahkan secara sistematis, tentu harus serius dicari apakah benar dugaan semacam itu. Jika benar, maka kita semua harus segera melakukan langkah-langkah penyelamatan guna mendorong Indonesia yang makin bersih dan antikorupsi.

Pelemahan dianggap terjadi di dua lini, pada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Pemeriksaan oleh Kepolisian Republik Indonesia kepada pimpinan KPK, dianggap sebagai kriminalisasi dan upaya melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Empat Pimpinan KPK yang tersisa, setelah nonaktifnya Antasari Azhar, memang telah diperiksa polisi, terkait dengan kewenangan untuk memerintahkan pencekalan yang mereka lakukan dalam penanganan kasus korupsi. Sekilas memang pemeriksaan demikian akan menimbulkan pertanyaan, apakah tepat kewenangan terkait cekal demikian, yang memang absah dimiliki KPK, dijadikan dasar kasus pidana.

Prinsipnya, jika memang melakukan tindak pidana, tidak boleh ada seorang pun yang imun dari kemungkinan pemeriksaan hukum. Itulah prinsip dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Karenanya, yang harus segera ditunjukkan kepada publik adalah proses hukum yang transparan, fair dan profesional. Polisi tidak punya pilihan, selain menghadirkan bukti-bukti pendukung yang mereka miliki, agar publik pun dapat mengawasi jalannya proses hukum tersebut. Hanya pembuktian hukumlah yang harus menjadi dasar pijakan berhenti atau terus jalannya suatu kasus hukum. Jika bukti kejahatan sangat kuat, maka proses hukumnya wajib jalan terus. Sebaliknya, jika buktinya sangat lemah, masih ada keraguan secuil pun, tidak memenuhi prinsip beyond reasonable doubt, maka siapapun harus dibebaskan dari jerat proses hukum, dan tidak boleh dikriminalisasi.

Misalnya, kasus pembunuhan yang saat ini membelit Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar. Apakah yang bersangkutan bersalah atau tidak, akan ditentukan oleh pembuktian yang sebentar lagi terbuka dalam persidangan. Tentu saja jika persidangan menghadirkan bukti-bukti yang kuat, tidak boleh ada argumen sedikit pun bahwa kasus yang dihadapi Antasari Azhar adalah bagian dari pelemahan KPK. Justru, sebaliknya, KPK dikuatkan dengan proses hukum yang memisahkan institusi tersebut dari kemungkinan dugaan tindak pidana yang dilakukan salah satu pimpinannya.

Yang pasti, proses penegakan hukum kepada pimpinan KPK memang harus dilakukan sangat hati-hati. Satu dan lain hal, karena UU KPK mengatur bahwa pimpinan KPK yang menjadi tersangka harus diberhentikan sementara; serta jika kemudian menjadi terdakwa, harus diberhentikan tetap. Pemberhentian demikian, tanpa menunggu yang bersangkutan dinyatakan bersalah sebagai terpidana, tentunya mensyaratkan bahwa proses hukum yang dijalankan harus betul-betul profesional, tanpa kepentingan apa pun di luar penegakan hukum yang independen dan imparsial.

Selanjutnya, asumsi pelemahan agenda pemberantasan korupsi disinyalir terjadi pada proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Paling tidak, ada tiga isu penting yang dianggap sebagai kemunduran sistem hukum antikorupsi. Pertama, terkait dengan komposisi hakim pengadilan yang tidak lagi diatur mayoritas dari hakim ad hoc, tetapi tergantung kasus korupsinya dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri; kedua, terkait dengan kewenangan penuntutan korupsi KPK yang dicabut, dan diserahkan seluruhnya kepada kejaksaan; ketiga, berhubungan dengan kewenangan penyadapan KPK yang dibatasi harus seizin Ketua Pengadilan Negeri.

Sebenarnya secara teori hukum, ketiga arah pembahasan tersebut sah saja diusulkan. Karena dalam kondisi biasa dan normal, memang demikianlah salah satu kemungkinan pengaturannya. Namun, KPK sendiri pada dasarnya lahir karena politik hukum antikorupsi sadar bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) harus dilawan bukan dengan cara-cara normal, tetapi juga dengan cara-cara luar biasa. Maka, pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum upaya-upaya luar biasa dalam tubuh KPK dan pengadilan Tipikor tersebut direvisi adalah: apakah memang sekarang saatnya sudah tepat untuk kita memberantas korupsi secara biasa-biasa saja? Apakah korupsi sekarang bukan lagi kejahatan luar biasa, sehingga cukup dilawan dengan cara-cara business as usual?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu kehati-hatian agar pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tetap sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang terus menjadi agenda kerja utama pemerintahan SBY saat ini, maupun di masa yang akan datang. Melawan koruptor memang tidak pernah mudah, tetapi tidak ada pilihan lain, kita harus terus melakukannya, untuk Indonesia ke depan yang lebih bersih dan sejahtera. Maka, Presiden SBY benar, tidak boleh ada upaya apa pun untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Alih-alih pelemahan, yang harus dilakukan justru adalah penguatan terus-menerus pemberantasan korupsi.[by : Denny Indrayana]

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 16 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan