Penguasa Kapital Bisa Beli Proses Demokrasi dalam Pilkada

Pemilihan kepala daerah secara langsung berpotensi menjadi lahan subur permainan para kapitalis lokal. Saat ini para penguasa kapital cenderung untuk melakukan investasi di bidang politik dengan memberikan dukungan terhadap salah seorang calon kepala daerah daripada melakukan investasi di sektor infrastruktur atau sektor lain. Jika kecenderungan itu terus terjadi, dikhawatirkan bisa mengancam proses demokratisasi itu sendiri.

Proses demokrasi bisa saja dibeli oleh para penguasa-penguasa kapital, kata Sukardi Rinakit, seorang pengamat politik di Jakarta, dalam percakapan dengan Kompas, Selasa (15/3). Kalau itu menjadi kenyataan, demikian Sukardi, maka demokrasi akan keluar dari jalurnya karena demokrasi akan sangat ditentukan oleh para penguasa kapital.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indra Jaya Piliang dan peneliti senior Indonesian Institute Tata Prapti Ujiyati secara terpisah mengemukakan, masyarakat di daerah pemekaran harus mengawasi pelaksanaan pilkada dengan lebih ketat. Di daerah yang pemilihnya berkisar antara 9.000 sampai 20.000 pemilih sangat mungkin terjadi konflik kepentingan antara kaum kapitalis dan putra daerah yang memperjuangkan pembentukan daerah baru.

Pemekaran wilayah
Indra mengatakan, segelintir orang yang memperjuangkan pemekaran wilayah pasti berlomba-lomba mencalonkan diri dalam pilkada. Di sisi lain, partai politik pasti mempunyai kepentingan kelompok dalam menjaring calon kepala daerah, dan calon pasti membutuhkan uang banyak yang bisa didapatkan dari pengusaha.

Putra daerah yang berjuang untuk pemekaran itu pasti akan mengamuk kalau tidak mendapat jabatan politis, sedangkan parpol belum tentu memikirkan kepentingan masyarakat dan yang lebih parah lagi, siapa yang mempunyai uang lebih banyak bisa mencalonkan diri lewat parpol yang mempunyai kepentingan sendiri, kata Indra.

Konflik kepentingan dari pihak-pihak itu, lanjut Indra, bisa saja merambah ke masyarakat yang heterogen di daerah pemekaran sehingga bisa menimbulkan konflik yang lebih besar. Karena itulah sebagai satu-satunya pintu masuk pencalonan kepala daerah parpol harus mempunyai cara lain dalam memilih calonnya.

Pengawasan ketat
Indra mengharapkan masyarakat mengawasi ekstra ketat proses pilkada langsung. Pengawasan yang penduduknya sedikit harus lebih kuat karena indikasi daerah ini akan diduduki cukong, sangat besar, apalagi tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat yang rendah akan dimanfaatkan cukong, tandasnya.

Hal senada diungkapkan Tata. Ia mengatakan peluang masuknya cukong menjadi calon kepala daerah atau membiayai calon kepala daerah untuk memenuhi keinginannya besar kemungkinannya. Bukan hanya dari dalam negeri, tetapi bahkan dari luar negeri. Dalam pilkada dipastikan akan ada dua kepentingan, yaitu partai dan pengusaha. Kandidat kepala daerah yang diseleksi parpol pasti membutuhkan dana yang besar, sedangkan pengusaha mempunyai uang yang banyak untuk melanggengkan usahanya, katanya.

Tata mengatakan, parpol harus mencari siapa yang paling populer di masyarakat untuk dijadikan calon kepala daerah. Sangat disayangkan bila masyarakat tidak bisa memilih calonnya hanya karena dihalang-halangi parpol. Dengan pemilih yang sedikit, pilkada di daerah pemekaran tidak ada masalah bila masyarakat dapat secara independen memilih pemimpinnya. (SIE/bdm)

Sumber: Kompas, 16 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan