Pengesahan RUU MA; Independensi Peradilan Terancam, MA Tiada Harapan

Pengesahan RUU MA
INDEPEDENSI PERADILAN TERANCAM, MAHKAMAH AGUNG TIADA HARAPAN

Hari ini 18 Desember 2008, meski banyak ditentang dan menimbulkan perdebatan berbagai kalangan, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) menjadi Undang-Undang. Salah satu ketentuan yang kontroversial adalah mengenai batas usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Pertimbangannya, hakim agung pada usia 70 tahun masih fungsional atau semakin tua semakin bijaksana.

Proses pembahasan yang tertutup dan pengesahan RUU MA yang dipaksakan telah menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan atau pesanan pihak tertentu. Hal ini juga akan berdampak memperburuk citra DPR di mata masyarakat serta adanya pengabaian hak dan kepentingan publik oleh DPR. DPR juga dapat dikatakan telah mengabaikan aspirasi publik yang menolak usia pensiun 70 tahun dan menghendaki penundaan pengesahan RUU MA sebelum selesainya dan ada sinkronisasi dari RUU Paket Peradilan yang lain seperti RUU Komisi Yudisial dan RUU Mahkamah Konstitusi.

Pengesahan RUU MA dan penetapan usia pensiun hakim agung 70 tahun tidak saja mengecewakan namun kenyataannya juga hanya menguntungkan sekelompok pihak, namun membahayakan kepentingan pembaharuan di MA. Berangkat dari buruknya potret MA saat ini, DPR dan Pemerintah seharusnya tidak perlu mempertahankan status quo dan hakim-hakim "usia senja" di MA.  

Pada sisi lain, kami khawatir percepatan pengesahan RUU MA dan persetujuan usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun merupakan bagian dari skenario untuk meloloskan hakim agung usia lanjut untuk tetap bertahan dan menjadi pimpinan MA. Sumber ICW di MA menyebutkan bahwa sudah muncul paket pimpinan MA yang nantinya akan dipilih dalam rapat di internal MA, yang akan dilakukan tidak lama setelah RUU MA disahkan oleh DPR. Artinya jikapun dilakukan rapat atau proses pemilihan dilakukan, hal ini merupakan formalitas atau basa-basi semata.   

Keputusan DPR yang mengesahkan RUU MA dan penetapan usia pensiun 70 tahun dapat dikatakan menyimpang dari refomasi MA dan tidak memiliki dasar yang kuat sebagaimana diatur dalam cetak biru pembaruan MA. kami khawatir keputusan ini lebih didasarkan pada upaya bargaining politik antara elit partai politik dengan elite pimpinan MA untuk kepentingan pengamanan perkara baik yang sedang dan akan ditangani di ma dan jajaran dibawahnya.

Jika benar telah terjadi peselingkuhan elit partai poltik dengan elit pimpinan MA dalam percepatan dan  pengesahan UU MA yang baru, maka independensi Peradilan telah terancam, Peradilan dalam hal ini MA dengan jajaran pengadilan dibawahnya sudah menjadi "kendaraan" segelintir elit partai politik tertentu. Artinya MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman akan mudah dikendalikan sesuai dengan keinginan elit politik yang dinilai berjasa meloloskan. Kondisi yang demikian menjadikan MA dimasa datang tidak lagi dapat diharapkan menjadi benteng terakhir keadilan. Masa depan dunia peradilan dapat dipastikan akan suram.  

Berdasarkan uraian diatas maka kami menyatakan:

  1. 1.  Menolak pengesahan RUU MA yang telah disahkan dan akan mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan.
  2. 2.  Menolak dan tidak mengakui pimpinan MA yang terpilih nantinya karena masa jabatan atau usia pensiunnya telah diperpanjangn oleh DPR melalui pengesahan RUU MA.
  3. 3.  Memasukkan anggota DPR yang mengesahkan RUU MA sebagai Politikus yang tidak Pro Reformasi Peradilan.

Jakarta, 18 Desember 2008

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan