Pengembalian Aset Korupsi via Instrumen Perdata
Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorup.
Tahun 2006, pengembalian kerugian negara atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya Rp 27,7 miliar. Jumlah itu tidak terlalu menggembirakan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang ditangani.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan (pendidikan, kesehatan dll).
Apakah pemberantasan korupsi cukup dilakukan melalui pendekatan hukum pidana? Apakah rezim hukum perdata memungkinkan dalam rangka pengembalian kerugian negara?
Sebenarnya politik hukum pemberantasan korupsi sudah menyadari pentingnya kedua rezim hukum tersebut, baik hukum pidana maupun perdata. Karena itu, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak hanya memberikan peluang hukum pidana melalui penyitaan harta benda milik pelaku oleh penyidik dan selanjutnya jaksa penuntut umum menuntut agar hakim melakukan perampasan, tetapi juga memberikan peluang melalui instrumen hukum perdata.
Selama ini jaksa hanya menggunakan instrumen pidana semata, sementara gugatan perdata belum pernah dilakukan, kecuali terhadap kasus mantan Presiden Soeharto yang saat ini sedang dalam proses. Mengapa gugatan perdata tidak dilakukan? Adakah persoalan yuridis?
Harus diakui, secara teknis-yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang, antara lain, menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang harus membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak, dan sebagainya.
Sedangkan jaksa pengacara negara (JPN) sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana; adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara (Suhadibroto: 2006).
Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Berharap Banyak
Pembentuk UU Tipikor, tampaknya, berharap banyak untuk mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. Lihat saja, misalnya, ketentuan tentang dimungkinkannya melakukan gugatan perdata dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti.
Padahal, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (pasal 32), gugatan terhadap ahli waris, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum pernah dilakukan (KHN:2006).
Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa, atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya.
Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan layak.
Keinginan besar untuk mengembalikan kerugian negara dan julukan korupsi sebagai extraordinary crime tidak didukung oleh perangkat hukum yang ada, khususnya dalam upaya pengembalian kerugian negara melalui gugatan perdata.
Dalam hal ini, hukum acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara.
Juga, misalnya, tak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh (dading), dan sebagainya (KHN:2006)
Hambatan-hambatan tersebut harus segera diatasi untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata khusus perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata konvensional.
Jika tidak, pengembalian kerugian negara melalui instrumen perdata yang diamanatkan undang-undang hanya akan menjadi macan ompong.
Mujahid A. Latief, peneliti pada Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta (Email: mujahid@komisihukum.go.id)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 1 Agustus 2007