Pengelolaan Sektor Migas Rawan Korupsi

Transparency International Indonesia (TII) menilai pengelolaan sektor migas dan pertambangan umum di Indonesia belum transparan sehingga rawan terjadi praktik korupsi.

Transparansi pengelolaan migas ini harus dilakukan untuk mencegah terjadinya resource curse (kutukan sumber daya alam). Hal ini terjadi justru di negara-negara penghasil migas terbesar yang rata-rata tingkat korupsi dan konfliknya tinggi, ungkap Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis.

Hal itu dikatakan Todung untuk memaparkan studi awal TII bertajuk Transparansi ekonomi ekstraktif di Indonesia di Jakarta, kemarin. Hadir sebagai pembahas Wakil Ketua Komisi VII DPR Alvin Lie, Kepala Divisi Pengendalian Finansial BP Migas Inggrid Tobing, Sekjen TII Emmy Hafild dan peneliti TII Rezky Sri Wibowo.

Lebih lanjut, Todung menambahkan iklim bisnis yang sehat akan tercapai di sektor migas jika setiap kontraktor bagi hasil (KPS) melakukan penjelasan rutin kepada publik mengenai laporan keuangan dan kegiatan usaha lainnya. Disamping pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal.

Meski KPS itu tidak mencatatkan diri ke BEJ (Bursa Efek Jakarta) dan BES (Bursa Efek Surabaya) tapi harus ada kontrol dan pengawasan dari pemerintah dengan melaksanakan transparansi. Khususnya menyangkut cost recovery, kata mantan aktivis LBH itu.

Sejauh ini, dia mengaku heran dengan perilaku perusahaan KPS asing di Indonesia yang justru sangat tertutup sementara di perusahaan induknya mereka tercatat di Bursa Saham New York dan London sehingga wajib melakukan paparan publik.

Dari hasil studi itu juga menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak resource curse. Karena pendapatan negara selama ini ditunjang dari hasil sumber daya alam (migas dan pertambangan umum), namun ironisnya angka kemiskinan setiap tahun selalu naik.

Angka kemiskinan tertinggi didominasi daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Riau, Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam, ujar Todung.

Salah satu faktor terjadinya kontradiksi ini diduga kuat adalah merajalelanya korupsi di sektor migas dan pertambangan umum. Indeks Pembayaran Korupsi Transparency International 2002 menunjukkan sektor migas menduduki peringkat ketiga tertinggi kemungkinannnya untuk disuap sesudah sektor pekerjaaan umum dan industri pertahanan.

Sekjen TII Emmy Hafild mengungkapkan sudah sejak lama industri migas nasional menjadi ladang empuk terjadinya praktik-praktik korupsi. Seperti kasus mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo, katalis kilang Balongan, technical assistance contract (TAC) Pertamina dan Ustraindo, dan sejumlah kasus lainnya yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Tidak transparannya pengelolaan sektor migas ini meliputi beberapa hal. Antara lain, proses negosiasi Kontrak Production Sharing (KPS), cost recovery, proses perhitungan bagi hasil, dan proses tender.

Peneliti TII Rezky Sri Wibowo mengakui sulitnya mendapatkan data yang pasti dari Depkeu, Pertamina, BP Migas dan KPS, baik itu menyangkut cost recovery maupun perhitungan bagi hasil di sektor migas.

Menyikapi studi TII tersebut, Kepala Divisi Pengendalian Finansial BP Migas Inggrid Tobing mengatakan selama ini seluruh data hasil pengelolaan sektor migas bisa diakses website milik Departemen ESDM dan Depkeu. Pihak BP Migas selama ini hanya mengawasi dan mengendalikan operasi KPS.

Selama ini pihak BPKP dan BPK juga telah mengaudit cost recovery para KPS. Soal cost recovery ini terkait kebijakan pemerintah untuk menarik investor akan tertarik menanamkan modalnya di Indonesia, paparnya. (Wis/E-3)

Sumber: Media Indonesia, 13 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan