Pengelolaan Keuangan Pemda

Harian Kompas (2/2/2009) menurunkan sejumlah artikel yang melaporkan rendahnya kualitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah.

Berita-berita itu menyiratkan kesemrawutan pengelolaan keuangan negara pada tingkat daerah yang terfokus pada tiga hal. Pertama, tersendat- sendatnya pengajuan anggaran. Kedua, rendahnya daya serap anggaran. Ketiga, kelambatan lembaga-lembaga pemerintah di pusat dan daerah melaporkan keuangan secara tepat waktu sesuai standar akuntansi pemerintah.

Harian Kompas (2/2/2009) pun memberitakan keluh kesah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution atas kian menurunnya kualitas laporan keuangan pemda dan pusat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan laporan BPK (Kompas, 16/7/2008), hanya 13 instansi pemerintah pusat dan satu pemda (Kota Tangerang) yang mendapat opini ”wajar tanpa syarat” dari BPK. Hal itu mengindikasikan reformasi manajemen keuangan negara sesuai UU No 13/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan PP No 25/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah masih gagal memperbaiki fungsi perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan keuangan pemerintah.

Kegagapan pemda beberapa tahun belakangan menetapkan anggaran secara tepat waktu dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi yang baru, bersumber dari masalah pokok yang hingga kini belum dipecahkan, yaitu sistem anggaran dan pelaporan pertanggungjawaban pemerintah yang berlaku masih terlalu kompleks dan ambisius dibandingkan daya dukung dan upaya peningkatan profesionalisme sumber daya manusia bidang manajemen anggaran dan akuntansi yang masih rendah.

Sejak kolonial

Birokrasi Indonesia sejak era kolonial telah terbiasa dengan sistem anggaran sederhana dengan laporan realisasi anggaran yang hanya memuat item pemasukan dan pengeluaran anggaran (kas) dari pemerintah pusat hingga kelurahan atau desa.

Dengan sistem anggaran dan laporan keuangan pemerintah itu, kini staf birokrasi Indonesia harus memproduksi anggaran berbasis kinerja beserta laporan keuangan tahunan persis sama dengan organisasi-organisasi pemerintah di Australia, Selandia Baru, atau berbagai perusahaan multinasional di pasar modal.

Dapat dibayangkan, dengan sistem sekarang, sebuah kabupaten baru di Papua wajib membuat anggaran dan laporan keuangan yang tidak jauh berbeda dengan format dan unsur laporan keuangan sebuah perusahaan multinasional di Jakarta.

Seorang pamong berlatar belakang ilmu pemerintahan atau ilmu pertanian—karena sebagai kepala bidang keuangan atau anggaran di suatu pemda—kini dipaksa tidak saja memahami teknik jurnal dan pelaporan keuangan yang lebih kompleks, tetapi juga menggunakan informasi keuangan itu sebagai dasar pengambilan keputusan yang terkait kegiatan operasional organisasi, program pembangunan, dan anggaran di lingkungan pemerintah.

Memang, secara teoretis tidak dapat dimungkiri, format anggaran dan akuntansi pemerintah yang berlaku di pusat dan daerah memiliki informasi yang lebih lengkap atas aset, utang, modal, anggaran, dan kinerja organisasi dari suatu instansi pemerintah.

Namun, tanpa dukungan tenaga akuntansi dan manajemen keuangan yang memadai, sampai kapan pun pemda tak akan mampu menyusun laporan keuangan secara mandiri, sesuai sistem anggaran dan laporan keuangan yang berlaku. Tanpa tersedianya tenaga akuntan memadai, implementasi sistem anggaran berbasis kinerja dan akuntansi aktual di lingkungan pemda dapat diumpamakan memaksa seorang pilot helikopter menerbangkan pesawat besar. DKI Jakarta sendiri masih kekurangan sekitar 5.000 akuntan (Detikfinance, 17/11/2008).

Merombak total
Meski demikian, hingga kini belum ada upaya serius dari badan kepegawaian pusat, Departemen Dalam Negeri, maupun sejumlah pemda menyediakan langkah lebih strategis untuk secara fundamental merombak sistem perekrutan pegawai daerah yang mampu mengoperasikan sistem anggaran dan akuntansi pemerintah yang baru.

Program yang telah dilakukan hanya lokakarya singkat, studi banding, atau seminar lokal untuk pegawai pemerintah daerah.

Di satu sisi pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang harus dijalankan pemda. Di sisi lain, pemda dengan kebijakan otonomi memiliki kebebasan penuh menentukan sistem perekrutan dan manajemen pegawai daerah tanpa memerhatikan UU atau tuntutan pekerjaan sesuai dengan kebijakan dari pusat.

Saat Pemerintah Selandia Baru atau Australia mulai menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja dan laporan keuangan berbasis aktual awal 1990-an, langkah pertama yang dilakukan adalah merombak total sistem manajemen dan organisasi lembaga pemerintah guna menjamin aparat pemerintah yang digaji dari uang pajak dapat menjalankan sistem anggaran dan akuntabilitas keuangan publik berdasarkan sistem yang dikehendaki masyarakat.

Pengalaman kedua negara itu menunjukkan koordinasi yang sistematis dan terstruktur antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan kebijakan secara efektif. Sebuah pengalaman yang patut dicontoh.

Harun Mahasiswa Doktoral Manajemen dan Akuntansi Pemerintahan Waikato Management School, The University of Waikato, Selandia Baru

Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan