Pengawasan Keuangan Negara; Menyoal Komitmen Pemerintah
Pemerintah negeri ini ibarat bagi-bagi duit. Meskipun didasari niat baik untuk pembangunan dan belanja negara, tetapi seakan tidak dikawal pengawasan. Kerunyaman penggunaan dana pun menjadi masalah klasik yang selalu dikeluhkan. Ironinya, perangkat pengawasan yang ada justru merasa terus dikerdilkan.
Data Departemen Keuangan menunjukkan, total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 yang diparkir di Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 43 triliun.
Artinya, hanya 60-70 persen dana desentralisasi dari pemerintah pusat ke daerah yang terserap untuk belanja pemerintah dan pembangunan di daerah.
Beberapa waktu lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluhkan lemahnya akuntabilitas dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat ke daerah.
Sementara itu, orang-orang yang berbincang di warung kopi di berbagai pelosok daerah pun merasa sudah umum jika lebih dari 30 persen dana pembangunan jalan, misalnya, menguap saat realisasi proyek.
Contoh lain, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperhitungkan, sekitar 90 persen dari 52 lembaga negara, termasuk kementerian, belum melakukan inventarisasi aset sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Kekayaan bersih pemerintah pun bernilai minus. Hal itu terutama disebabkan aset yang mendasari neraca awal belum jelas.
Masyarakat pun menonton pemborosan anggaran negara terus terjadi sejak perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan pemerintah pusat maupun daerah.
Persoalan-persoalan itu bukan hal baru, tetapi tak kunjung teratasi walaupun pemerintah sudah membuat beberapa langkah maju, antara lain dengan mereformasi aturan perundang-undangan manajemen keuangan negara sejak tahun 2003.
Tujuh bulan menjabat sebagai Kepala BPKP, Didi Widayadi mengaku, saat ini kegeramannya berkutat dengan kerunyaman itu sudah memuncak.
Ini seperti