Pengawasan Hakim; Ketika Harapan Akan Keadilan Tercerabut

Muram. Itulah suasana yang tertangkap di Kantor Komisi Yudisial, Wisma ITC Lantai V, Jalan Abdul Muis, Jakarta, Kamis (24/8) siang. Ruang tunggu Bagian Pengaduan Masyarakat yang biasanya cukup ramai oleh hilir mudik para pegawai KY tampak sepi.

Suasana sama terasa ketika dua anggota Komisi Yudisial (KY), Thahir Saimima dan Zaenal Arifin, menggelar jumpa pers menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memangkas fungsi pengawasan KY. Separuh dari peserta jumpa pers justru pegawai KY yang ingin mendengar kebijakan pimpinannya atas putusan itu.

Saat itu Thahir meminta maaf kepada rakyat karena tak mampu mencegah pemangkasan kewenangan KY oleh MK. Thahir menyatakan, KY tak akan lagi menerima pengaduan dari masyarakat. Keputusan itu akhirnya diambil aklamasi oleh seluruh anggota KY dalam rapat pleno keesokan harinya.

KY agaknya tidak ingin memberikan pepesan kosong kepada para pelapor. KY tidak ingin masyarakat kecewa karena laporannya tak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Ini bukan kehendak kami. Kami sebenarnya tak ingin memupus harapan masyarakat. Kami sekadar menjalankan keputusan MK yang membatalkan fungsi pengawasan kami, ujar Soekotjo Soeparto, anggota KY, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

Tak pelak lagi, keputusan itu menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Telepon KY terus berdering untuk menanyakan informasi tersebut. Bahkan, Senin kemarin, salah satu pelapor jauh-jauh datang dari Maluku khusus menanyakan nasib laporannya.

Lily Mukidah, dari Bagian Pengaduan Masyarakat KY, mengatakan, sejak pengumuman di media massa tentang penutupan laporan pengaduan masyarakat, dia menerima banyak telepon untuk meminta kepastian. Kebanyakan penelepon menanyakan bagaimana kelanjutan pengaduannya. Tapi, ada juga yang sekadar memastikan apakah benar pengaduan ditutup, ujar Lily.

Meski MK tak membatalkan pasal yang mengatur soal itu, kata Soekotjo, KY berpendapat pasal yang mengatur penerimaan laporan pengaduan masyarakat sangat terkait dengan Pasal 20 Undang-Undang (UU) KY.

Pasal itu menjadi semacam roh bagi eksistensi KY. Pasal yang berbunyi Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim sudah dibatalkan MK dan dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum lagi. Kita memandang penerimaan laporan pengaduan adalah bagian dari pengawasan. Kalau pengawasan dibatalkan, lantas bagaimana? ujarnya.

Putusan MK yang membatalkan ketentuan pengawasan di dalam UU KY memang cukup mengejutkan. Dengan putusan nomor 005/PUU-IV/2006 itu, sebanyak 12 pasal di dalam UU KY yang mengatur pengawasan hakim dinyatakan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK menganjurkan Presiden dan DPR segera merevisi UU tersebut, sekaligus menyinkronkan dengan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung.

MK juga memutuskan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk sebagai salah satu obyek pengawasan KY. Pengawasan KY dinilai dapat mengganggu pelaksanaan tugas MK sebagai satu- satunya lembaga penafsir UUD 1945 dan lembaga yang berwenang mengadili sengketa antarlembaga negara.

Akan tetapi, MK berpendapat, KY tetap sebenarnya dapat mengawasi hakim di seluruh tingkatan, tak terkecuali hakim agung. MK tidak menemukan dasar konstitusional untuk menyatakan yang sebaliknya.

Tantangan bagi MA
Lain di KY lain pula di MA. Meski sebagian permohonan dikabulkan, tidak ada luapan kegembiraan menonjol. Meskipun MK memutus hakim agung tetap diawasi MA, untuk sementara waktu MA boleh lega.

Mengapa? Sebab, dalam enam bulan hingga satu tahun ke depan MA tak perlu lagi merisaukan aksi KY yang terkadang membuat para hakim agung terkaget-kaget. Lihat saja rentetan konflik kedua lembaga itu, mulai dari isu kocok ulang hakim agung, 13 hakim agung bermasalah, sampai pemanggilan sejumlah hakim agung.

Ketua Muda Bidang Perdata MA Harifin A Tumpa mencoba melihat putusan itu secara bijak. MA dan KY dapat menata kembali hubungan dari nol. Di sisi lain, putusan MK menjadi batu ujian bagi MA sebagai pengawas tertinggi peradilan (Pasal 32 UU MA). Ini memang harus dibuktikan, mengingat pengawasan internal selama ini tak berjalan.

Sehubungan dengan hal itu, MA mencanangkan tahun 2006 dan 2007 sebagai tahun pengawasan. Kini MA sedang berkonsentrasi menyiapkan konsep dan strategi pengawasan yang efektif baik dalam hal administrasi, teknis yudisial, maupun perilaku. Kita sudah menegaskan kepada Ketua PN, PT, dan MA agar lebih mengawasi hakim dan pegawainya. Tak ada ampun untuk mereka yang terlibat suap, sogok, dan korupsi, ujarnya.

Masalahnya, sejauh mana pengawasan berjalan. Masyarakat butuh contoh tindakan tegas. Dan, justru inilah yang menjadi masalah sebab suap, korupsi, dan sogok sulit dibuktikan. Pada akhirnya, MA hanya dapat menilai perilaku hakim dari ada tidaknya kejanggalan dalam putusan. Jika ada kejanggalan, yang bersangkutan akan dikenai sanksi administrasi (demosi).

Hanya saja, MA tak bisa begitu saja memublikasikannya demi menjaga akuntabilitas dan nama hakim bersangkutan. Apa yang menimpa Nana Juwana, mantan Kepala Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, agaknya menjadi pelajaran berharga. Namun, kami siap jika pengaduan yang belum tertangani KY dilimpahkan ke MA. Kami punya tenaga cukup dan sistem yang sudah berjalan lama, ujar Harifin.

Meskipun kecewa, beberapa anggota KY menilai putusan MK tidak akan langsung mematikan KY. Selain menyelesaikan 547 laporan, KY juga akan memanfaatkan waktu (menunggu revisi UU) untuk berbenah diri.

KY juga akan melakukan evaluasi mekanisme pemeriksaan dan kelembagaan. Diakui oleh Soekotjo, selama ini program penguatan institusi terkesampingkan atau mendapat porsi lebih kecil. Besarnya harapan masyarakat membuat KY bergerak cepat meski sebenarnya belum siap. Sekarang kami memiliki porsi yang lebih banyak lagi untuk berbenah diri, ujarnya.

KY juga tetap memperkuat jejaring dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi. KY juga tetap memantau hakim-hakim dalam rangka menyusun database hakim dan pembuatan profil hakim. Data itu sangat mendukung proses seleksi hakim agung. Kalaupun pengawasan hakim nanti dikembalikan, kami tidak harus mulai dari nol lagi, kata Soekotjo.

Hanya saja yang belum terjawab, kepada siapa pencari keadilan harus meminta pertanggungjawaban atas pupusnya harapan yang selama ini digantungkan ke KY? Sanggupkah MA membuktikan diri, merespons setiap pengaduan masyarakat secara obyektif?

Perlukah pencari keadilan datang ke MK untuk meminta pertanggungjawaban atas keputusannya menghilangkan harapan akan sebuah putusan yang adil? (Susana Rita)

Sumber: Kompas, 29 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan