Pengaturan Pejabat Berbisnis

Kasus percaloan anggaran pondok dan katering haji yang dilakukan KH Aziddin (anggota Fraksi Partai Demokrat) membuka mata publik akan fakta keterlibatan politikus dalam bisnis yang melibatkan uang rakyat. Praktek semacam ini juga tersirat dalam kasus indikasi pemerasan dan ancaman anggota terkait dengan dana bencana.

Yang menjadi soal, apakah sanksi pemberhentian Aziddin oleh Badan Kehormatan DPR dan terungkapnya kasus lain akan menghentikan praktek ini di DPR atau instansi pemerintahan lainnya. Kasus Aziddin seharusnya menjadi pelajaran yang dapat digunakan untuk perbaikan aturan di pemerintahan berkaitan dengan pelarangan pejabat berbisnis.

Aziddin dapat dipandang sebagai fenomena pucuk dari sebuah gunung es (tip of the iceberg). Selain Aziddin, sebenarnya masih banyak politikus di DPR yang berstatus sebagai pebisnis atau memegang jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Mereka yang hingga kini masih berstatus pemimpin perusahaan, pengacara, atau pemegang jabatan profesional lain masih terserak tak tersentuh.

Penelitian Indonesia Corruption Watch tentang pemetaan DPR pada 2004 menginformasikan terdapat 215 orang anggota DPR yang berstatus pengusaha. Angka ini mencapai 39 persen dari total anggota DPR sekarang, naik dari segi persentase dibanding komposisi anggota DPR periode sebelumnya, yaitu 33,6 persen dari total jumlah anggota. Lebih gawat lagi, para politikus-pengusaha ini tersebar di komisi-komisi basah DPR dengan persentase rata-rata di atas 50 persen dari jumlah anggota komisi. Selain soal kasus Aziddin, ICW menerima laporan beberapa kasus keterlibatan politikus DPR dengan proyek pemerintah yang tak jauh dari wilayah tanggung jawab anggota bersangkutan.

Kasus Aziddin kemudian juga menjadi menarik karena seakan mengkonfirmasikan bahwa rangkap jabatan politik dan bisnis tidak hanya terjadi di pemerintah, tapi juga terjadi di DPR. Sebelum kasus Aziddin, publik sempat mencatat kasus yang melibatkan pejabat tinggi di pemerintah, seperti kasus pengadaan pembangkit listrik dan proyek pemipaan gas yang diadakan sebuah BUMN. Dari fenomena di DPR dan pemerintah ini, terlihat bahwa jabatan publik seakan menjadi sarana untuk mendapatkan keuntungan dari proyek pemerintah. Hal ini menjadi problem krusial karena dengan adanya pengaruh kekuasaan yang berlebihan dalam pelaksanaan proyek pemerintah, kualitas proyek akan terancam karena pengaruh kekuasaan menihilkan persaingan usaha yang sehat dalam mendapatkan hak pelaksanaan proyek tersebut. Di sisi yang lain, tidak adanya pembatasan praktek pejabat berbisnis dapat melanggengkan korupsi politik dalam pelaksanaan proyek pemerintah.

Pebisnis dan politik
Pejabat berbisnis tidak dapat dilihat secara terpisah sekadar sebagai upaya mendapatkan keuntungan pribadi. Politikus menduduki jabatan publik sangat besar dipengaruhi oleh peran partai politik dan elite partai. Hal ini menyebabkan politikus tidak dapat terlepas dari tanggung jawab membesarkan partainya. Maka tidak aneh jika pendapatan pejabat publik, baik resmi maupun pendapatan tambahan lain, harus disetorkan ke partai dengan berbagai alasan: membangun dan memelihara konstituen serta membiayai berbagai kebutuhan partai yang lain. Besarnya faktor pendorong dari kebutuhan partai ini menjerat politikus untuk mencari kesempatan memperoleh pendapatan tambahan, termasuk dengan cara berbisnis, dari anggaran publik.

Pola rekrutmen politik yang buruk juga turut memuluskan pelaku bisnis menjadi politikus. Karena setoran yang besar untuk mendapatkan nominasi adalah faktor determinan dalam proses pencalonan kandidat pada saat pemilu, hanya segelintir orang yang memiliki uang yang dapat mulus menjadi kandidat. Hasil penelitian ICW di atas membuktikan peningkatan jumlah politikus yang datang dari latar belakang pebisnis yang notabene memiliki kecukupan modal. Laporan keuangan pasangan calon presiden dan laporan keuangan partai politik pada Pemilu 2004 juga membuktikan besarnya sumbangan perusahaan (pengusaha) pada pendanaan kampanye. Kondisi ini menyebabkan dominannya pengaruh bisnis terhadap partai dan tentu saja berpengaruh pada kebijakan publik yang dibuat sebagai aspirasi partai. Pada titik ini, pebisnis yang menjadi politikus menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan, dan keuntungan yang didapatkan digunakan untuk mempertahankan jabatan publik yang dimilikinya.

Pengaturan
Besarnya dampak yang mungkin ditimbulkan pejabat yang menggunakan jabatannya untuk mencari keuntungan bisnis harus diminimalkan dengan aturan yang tegas. Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat melontarkan keinginannya untuk membuat aturan setingkat instruksi presiden tentang pejabat berbisnis. Rencana ini sebenarnya sangat baik untuk mengawali perbaikan internal di pemerintah. Namun, sayangnya, rencana ini pupus dimakan waktu.

Indonesia termasuk terlambat dalam penerapan pembatasan pejabat berbisnis jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Filipina dan Thailand. Di Filipina, batasan pejabat berbisnis diatur di dalam konstitusi. Anggota legislatif di Filipina dilarang menduduki institusi yang dibentuk pada masa dia menjabat. Juga ada larangan secara tegas untuk menerima kontrak proyek atau perilaku khusus lainnya yang dapat mendatangkan keuntungan finansial secara langsung ataupun tidak langsung (pasal 13 dan 14 konstitusi Filipina). Hal ini juga berlaku bagi eksekutif yang tidak boleh terlibat dalam bisnis atau mendapatkan kontrak, lisensi, dan konsesi dari negara.

Di Thailand, pengaturan pembatasan pejabat berbisnis juga terdapat dalam konstitusi. Pembatasan dilakukan dalam bentuk larangan memiliki saham, usaha, atau kerja sama dengan perusahaan tertentu (pasal 208 konstitusi Thailand). Pengaturan pejabat berbisnis memang tantangan ke depan bagi Indonesia, yang sebentar lagi akan merevisi Undang-Undang Politik dan Pemilu. Aturan dapat dibuat agar politikus melepaskan jabatan bisnisnya sebelum mendaftar sebagai kandidat legislatif atau eksekutif. Pembatasan pejabat berbisnis memang harus tercantum di aturan setingkat undang-undang karena di Filipina atau Thailand hal ini bahkan diatur di konstitusi negara.

Ibrahim Fahmy Badoh, Manajer Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan