Pengangkatan Patrialis Tidak Sah, Koalisi Serahkan Bukti
Sidang lanjutan gugatan Keputusan Presiden No. 87/P/2013 tentang pengangkatan Patrialis Akbar sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta (9/10). Kuasa hukum pemerintah masih bersikeras koalisi tidak memiliki kedudukan hukum dan kerugian terkait pengangkatan Patrialis sebagai Hakim MK. Koalisi tetap pada sikap semula, pemilihan Patrialis melanggar Undang-undang Mahkamah Konstitusi.
Koalisi Penyelamatan MK menyerahkan sejumlah alat bukti berupa dokumen, yaitu: akta pendirian badan hukum dan SK Kemenkumham ICW dan YLBHI sebagai penggugat, kliping media tentang seleksi hakim MK pada 2008 dan pro kontra pengangkatan Patrialis Akbar, serta bantahan Amir Syamsuddin tentang adanya fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap Patrialis.
Kuasa hukum Patrialis Akbar yang pada sidang sebelumnya memohon untuk masuk sebagai pihak tergugat, juga menyerahkan duplik pada Majelis Hakim.
Kuasa hukum pemerintah berdalih bahwa gugatan koalisi tidak tepat karena unsur kerugian tidak terpenuhi dan koalisi tidak memiliki kedudukan hukum. Mereka meyakini seharusnya pihak yang dirugikan adalah Hakim Konstitusi terpilih, Patrialis Akbar.
Kuasa hukum Patrialis, menganggap bahwa Surat Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan Patrialis Akbar yang digugat koalisi belum final. Ia menganggap bahwa SK itu berlaku setelah ada pelantikan.
Bahrain, Kuasa Hukum Koalisi dan Direktur Advokasi YLBHI membantah argumentasi pemerintah. Ia mengatakan, “Kalau dia bilang kita tidak berhak—para hakim PTUN lah yang nanti akan menguji constitutionality kita. Bagaimana bisa dikatakan kita tidak berhak?” ujarnya.
Bahrain kembali menegaskan, “Sesuai UU MK, pengangkatan Hakim Konstitusi ditetapkan oleh presiden dan tidak ada pihak lain. Justru kalau kuasa hukum Pak Patrialis menganggap SK itu belum final, memang siapa lagi yang menetapkan hakim konstitusi selain presiden?”
Seleksi hakim konstitusi, menurut Bahrain, harus sesuai amanat Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). “Dalam pasal 19, tercantum bahwa seleksi hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif,” ujarnya. Di situlah panitia seleksi (pansel) membuka ruang bagi masyarakat untuk memberi masukan terhadap calon hakim.
Pada seleksi calon hakim MK tahun 2008, ICW dan YLBHI bergabung dalam aliansi untuk memantau proses seleksi. Saat itu, Adnan Buyung Nasution menjadi Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi. Achmad Sodiki dan Maria Farida terpilih menjadi hakim konstitusi lewat seleksi 2008.
“Panitia seleksi menghimbau masyarakat untuk silakan melacak rekam jejak dan memberi masukan ke panitia seleksi sebelum daftar calon hakim ini disampaikan kepada presiden. Seleksi hakim konstitusi dipublikasikan di media massa, terbuka,” jelas Bahrain.
“Sementara pemilihan Patrialis? Tidak ada pengumuman. Kapan dia jadi pun, kami tidak tahu,” ungkap Bahrain. “Gugatan ini juga melambangkan nilai partisipasi publik yang dipotong, sehingga tidak transparan, padahal UU MK mengamanatkan itu.” tukas Bahrain.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dalam suatu kesempatan, membantah ada fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) bagi Patrialis Akbar. “Itu ada videonya, dan ada di media,” jelas Bahrain.
Patrialis Akbar pernah dua kali nyalon sebagai Hakim Konstitusi dan gagal. Pernah juga menjabat Menteri Hukum dan HAM, tapi dicopot lewat reshuffle. “Kalau dia bagus, nggak mungkin di-reshuffle,” tukas Bahrain.
Penangkapan Akil
Terkait dengan penangkapan Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap, Bahrain menyampaikan bahwa Akil dipilih secara terbuka pada seleksi pertama. “Tapi, periode kedua, dia langsung ‘di-SK-kan’. Itu menyalahi, tidak bisa Akil dilanjutkan jadi hakim begitu saja. Seharusnya, tetap mengikuti aturan seleksi. Karena proses ini tidak terlaksana, maka kami anggap itulah pelanggaran UU MK, di situlah intervensi sudah berjalan,” tegas Bahrain.
Bahrain menegaskan, “Dalam hal inilah pengangkatan Patrialis menyalahi aturan, yaitu pasal 19 UU MK. Panitia atau presiden harusnya mempublikasikan ke media massa. Ini kita anggap tidak terlaksana,” katanya. “Kita ini negara hukum. Partisipasi masyarakat dan transparansi diutamakan dalam bernegara.” tutupnya.
Sidang dilanjutkan pada 16 Oktober 2013 dengan agenda pembuktian dan menghadirkan ahli dari pihak koalisi.