Pengangkatan Patrialis Diduga Kuat Melanggar Undang-undang MK

Sidang perdana gugatan Koalisi Masyarakat Selamatkan MK atas keputusan presiden mengangkat Patrialis sebagai hakim MK, telah digelar minggu lalu (10/9) di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur.

Agenda sidang adalah pembacaan gugatan,dihadiri perwakilan dari pemerintah selaku tergugat. Ada kejutan kecil di tengah sidang, kuasa hukum Patrialis Akbar tiba-tiba masuk dan menyatakan diri ingin bergabung dengan tergugat. Setelah ditanya ketua majelis hakim, pihak tergugat menyatakan kuasa hukum Patrialis boleh bergabung. 

Pihak tergugat menyatakan koalisi tidak memiliki legal standing. Ini dibantah Bahrain, aktivis YLBHI, salah satu kuasa hukum koalisi. “Harus dipahami, pasal 53 UU PTUN menyatakan bahwa orang atau badan hukum yang kepentingannya dirugikan, bisa menggugat,” jelasnya

“Kalau kita dianggap tidak punya legal standing, itu kita pertanyakan. Karena, prinsip transparansi dan partisipatif adalah unsur-unsur dalam pemerintahan demokratis. Ini harus kita kawal,” tegas Bahrain. 

Bahrain mengutip Profesor Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK yang menjelaskan bahwa demokrasi adalah gagasan yang mengandaikan kekuatan dari, oleh, dan untuk rakyat. “Jadi, apakah kita harus diam pada saat proses demokrasi itu tidak sesuai dengan UU?” kata Bahrain.

Bahrain juga menyatakan bahwa UU Mahkamah Konstitusi jelas membuka ruang bagi seluruh masyarakat untuk mengawasi jalannya proses pemilihan hakim konstitusi. “Pasal 19 UU MK menegaskan bahwa pemilihan hakim MK itu transparan dan partisipatif.” 

Menurut Bahrain, pemerintah harus terus membuka diri dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dalam penyelenggaraan negara. “PTUN ‘kan tugasnya mengawasi proses eksekutif dalam membuat keputusan. Jadi ketika kita bicara secara filosofi ketatanegaraan, ketika kita dianggap tidak punya legal standing, berarti tidak memahami bagaimana negara berdiri. Indonesia berdiri karena adanya pemerintahan, rakyat, kekuasaan, dan wilayah. Kalau tidak ada rakyat, ya tidak jadi negara ini,” tuturnya.

Pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan asas transparansi dan akuntabilitas dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Presiden juga diduga kuat tidak melaksanakan amanat UU MK, sehingga terjadi ketidaklengkapan syarat dan prosedur, dan melanggar proses perekrutan dalam pencalonan dan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi. 

“Pengakuan dari Pak Patrialis sendiri, bahwa dia dipanggil, ngobrol-ngobrol, terus jadi (hakim konstitusi—red). Padahal, pejabat negara tidak boleh sembarangan bertindak. Kita ini ‘kan trias politica. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif punya kekuasaan yang berbeda. Kekuasaan-kekuasaan ini jangan saling intervensi. Kalau hal-hal ini dicampuri, kita khawatir jadi persoalan baru,” Bahrain mengingatkan.

Bahrain menegaskan bahwa ada tata cara pelaksanaan pemilihan hakim MK, termasuk lewat panitia seleksi (pansel). “Dalam proses seleksi 2008, pansel mengumumkan calon-calon hakim MK. Pansel juga meminta pendapat publik. Ada wawancara terbuka. Lewat media massa, masyarakat juga diberi ruang untuk memberikan tanggapan terhadap calon-calon yang sudah ada. Masyarakat bisa ikut lihat wawancaranya. Setelah calon-calon tersaring lagi, baru diserahkan ke presiden,” jelas Bahrain. 

Koalisi Masyarakat Selamatkan MK menghimbau presiden membentuk panitia seleksi calon hakim MK. Karena, pengangkatan Patrialis Akbar tidak melalui “saringan” pansel. “Pasal 19 menegaskan bahwa pemilihan hakim MK bersifat transparan dan partisipatif. Maksudnya, dipublikasikan di media. Sehingga masukan dari masyarakat bisa dimanfaatkan.”

Patrialis Akbar pernah dua kali mencalonkan diri jadi hakim dari partai poliitk. “Sekarang, Pak Patrialis menganggap dia perwakilan dari pemerintah. Siapa yang tidak tahu Pak Patrialis, dua periode dia anggota DPR. Kalau dia dari perwakilan pemerintah – bagaimana itu?” ujar Bahrain. 

Menurut Bahrain, ada sesuatu yang disembunyikan dari pengangkatan Patrialis sebagai hakim MK. “Penetapan Patrialis itu sembunyi-sembunyi. Beberapa media sempat tanya ke Patrialis, dia menganggap sudah di-fit and proper test. Ditegaskan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, tidak pernah ada fit and proper test terhadap Patralis Akbar. Menkumham bilang, ‘tidak pernah ada itu!’”

Koalisi meyakini bahwa independensi Mahkamah Konstitusi harus dijaga. “MK dipandang sebagai lembaga yang baik dan masih diharapkan masyarakat. Dengan kondisi sekarang, di mana ada orang-orang partai di dalamnya, ini harus kita kawal bersama.” tutup Bahrain.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan