Pengangkatan Ketua BPK Terancam Batal [30/07/04]
Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang baru terancam tidak jadi diangkat dan disahkan. Pasalnya Presiden Megawati Soekarnoputri mempertanyakan dasar hukum pemilihan auditor negara itu oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang habis masa tugasnya pada Oktober mendatang.
Sekretaris Negara Bambang Kesowo mengatakan, Presiden hingga kini belum dapat meluluskan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat agar segera mengangkat dan mengesahkan Ketua dan anggota BPK. Alasannya, Presiden masih memiliki beberapa pertimbangan sebelum mengambil keputusan tersebut. Pertimbangan-pertimbangan itu menyangkut dasar hukum pemilihan anggota BPK, kata dia kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Menurut Bambang, amendemen Undang-Undang Dasar 1945 menyiratkan pemilihan anggota BPK harus dilakukan oleh anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Padahal, DPD hasil pemilihan umum legislatif April 2004 baru saja terpilih. Apakah tidak sebaiknya kita tunggu (DPD ikut proses pemilihan BPK), ujarnya.
Jika proses itu diteruskan dan Presiden mengangkat Ketua BPK, kata Bambang, Tidak mustahil akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan hukum. Pernyataan Bambang itu sekaligus menanggapi surat desakan anggota DPR agar Presiden segera memilih Ketua dan anggota BPK.
Pertimbangan lain, Bambang melanjutkan, bila Presiden mengangkat Ketua dan anggota BPK berdasarkan Undang-Undang BPK yang lama (UU BPK Nomor 5/1973) juga akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Mau diangkat untuk waktu yang berapa lama? kata dia. Bila mengikuti usulan DPR, berarti Ketua dan anggota BPK yang baru akan menjabat hingga 2009. Nanti kita dituduh melangkahi hak DPR dan DPD hasil pemilu April, katanya.
Sebaliknya, menurut Bambang, jika dipaksakan diangkat dan hanya menjabat sementara Ketua dan anggota BPK yang baru belum tentu bersedia. Apakah tepat dan beliau-beliau itu mau?
Sejauh ini Presiden juga sudah mengeluarkan keputusan presiden atas persetujuan DPR untuk memperpanjang masa jabatan keanggotaan BPK di bawah kepemimpinan Billy Joedono sekarang. Jadi, apa bedanya? kata dia.
Bambang mengatakan, pertimbangan-pertimbangan Presiden yang belum juga menunjuk Ketua BPK ini telah disampaikan kepada DPR. Presiden meminta pertimbangan lebih lanjut atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Seperti diketahui, pada awal Juni, DPR telah mengesahkan 21 nama calon pemimpin dan anggota BPK. Dari calon-calon pemimpin lembaga itu, lewat voting bekas Deputi Gubernur Senior Anwar Nasution menduduki peringkat pertama sebagai calon terkuat menduduki Ketua BPK menggantikan Billy Joedono. Posisi kedua ditempati bekas Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim. Adapun dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mustofadijaya menduduki peringkat ketiga. Selanjutnya, nama-nama tersebut akan diserahkan ke Presiden untuk dipilih menjadi satu ketua, satu wakil ketua, dan lima anggota.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Faisal Baasir menilai pertimbangan dan pertanyaan Presiden sebagai sikap yang dibuat-buat. Itu tidak konsisten, kata dia saat dihubungi tadi malam.
Menurut Faisal, Presiden bersikap mendua antara pengangkatan Ketua BPK dan pengangkatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Miranda Goeltom diangkat sebagai Deputi Gubernur Senior BI, saat masa jabatan lima tahun Megawati sudah hampir habis. Tapi hal yang sama tidak dilakukan Presiden dalam pengangkatan Ketua BPK.
Kondisi ini, kata Faisal, menimbulkan efek negatif, yaitu hasil audit BPK sekarang menjadi kurang legitimasinya. Karena seharusnya masa jabatan Billy Joedono berakhir Oktober tahun lalu. Ini bisa jadi masalah, katanya. Faisal menuding ada kepentingan-kepentingan lain di balik sikap Presiden ini. Presiden sudah mempermainkan DPR. Masalah ini bisa saja diangkat dan dipersoalkan DPR dalam laporan pertanggungjawaban Presiden nanti.
Paskah Suzetta, yang juga Wakil Ketua Komisi Keuangan menilai, berbagai pertimbangan Presiden tersebut tidak berdasar. Amendemen UUD 1945 Pasal 34f memang menyebutkan, pemilihan calon Ketua BPK harus atas pertimbangan DPD. Namun, dalam pasal peralihan disebutkan, jika UU-nya belum ada, peraturannya mengacu pada peraturan lama, yakni UU Nomor 5/1972. DPR tidak bisa mengosongkan satu lembaga tinggi negara, kata Paskah.
Paskah meminta pemerintah tidak membuat tafsiran atas hal-hal yang telah dilakukan DPR. Apalagi yang mau dikonsultasikan. Kalau memberi penafsiran, itu melanggar konstitusi. yura syahrul
Sumber: Koran Tempo, 30 Juli 2004