Pengambilalihan Yayasan Soeharto Dinilai Terlambat
Lalu bagaimana kalau ternyata ada badan usaha milik yayasan yang cuma punya utang?
Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch Teten Masduki menilai rencana pemerintah mengambil alih yayasan-yayasan yang didirikan mantan presiden Soeharto sebagai langkah yang terlambat. Ini jelas sekali menunjukkan kepura-puraan pemerintah saja agar terlihat seolah-olah serius menangani kasus Soeharto, kata Teten kemarin.
Penyitaan itu, menurut Teten, mestinya dilakukan dari dulu. Sebab, ia yakin saat ini tidak ada lagi aset milik yayasan Soeharto yang cukup berharga. Aset itu sempat dicurigai tersimpan di beberapa bank di dalam dan luar negeri. Sekarang pasti sudah pindah semua uang itu, ujarnya.
Teten khawatir nantinya pemerintah hanya akan menemukan yayasan-yayasan itu yang isinya tinggal kewajiban dan utang-utangnya. Menurut dia, mungkin hanya Rumah Sakit Dharmais yang masih cukup berharga untuk diserahkan pengelolaannya di bawah Departemen Kesehatan. Lalu bagaimana kalau ternyata ada badan usaha milik yayasan yang cuma punya utang?
Jika pemerintah memang sungguh-sungguh, kata Teten, pengusutan kasus Soeharto bisa dilakukan dengan memproses secara hukum para kroni bisnis dan keluarga mantan penguasa Orde Baru itu. Soeharto kan korupsi tidak sendirian, tapi dengan mesin birokrasi dan kroninya, ia menjelaskan. Mestinya Kejaksaan Agung mengusut mereka itu.
Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda mengatakan institusinya tak ikut campur dalam rencana Departemen Keuangan tersebut. Rencana semacam ini dulu pernah ada, ujarnya.
Ketika itu, kata dia, pengelolaan yayasan-yayasan tersebut pernah akan diserahkan di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Langkah kali ini inisiatif Departemen Keuangan.
Meski begitu, ia berpendapat, masih ada peluang langkah mengambil alih aset yayasan itu sebagai bagian dari upaya menuntut Soeharto secara perdata. Ini sangat dimungkinkan, ucapnya. Kejaksaan siap melakukan langkah-langkah lebih lanjut. TOMI A | KARTIKA CANDRA
Sumber: Koran Tempo, 4 April 2007