Pengaktifan Ali Mazi Dikritik
Ini menunjukkan intervensi elite politik sangat kuat.
Pengaktifan Ali Mazi sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara menuai kritik. Menurut lembaga penggiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), keputusan Presiden mengaktifkan terdakwa kasus korupsi perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton itu telah melampaui kewenangan eksekutif. Kecuali Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa, kata anggota Badan Pekerja ICW, Adnan Topan Husodo, di Jakarta kemarin.
Menurut Adnan, Presiden telah mengambil alih kewenangan Mahkamah Agung. Ali Mazi, katanya, aktif kembali apabila Mahkamah menolak kasasi jaksa. Keputusan Presiden itu menunjukkan pemerintah tak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Pada 12 Juni lalu hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Ali Mazi dan Pontjo Sutowo dalam kasus korupsi perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton. Jaksa Sugeng Riyanta lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung akhir Juni lalu.
Selama proses persidangan, Presiden menonaktifkan Ali Mazi dari jabatan gubernur sejak 23 Oktober tahun lalu. Tapi, akhir pekan lalu, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan Presiden mengembalikan status Ali sebagai gubernur.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Tjahjo Kumolo menduga ada intervensi politik dari elite di eksekutif di balik putusan itu. Pengaktifan pengacara Pontjo Sutowo ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tebang pilih dalam memberantas korupsi. Mengapa Ali Mazi bebas? Apakah karena Suwarna dulu kader PDIP? kata Tjahjo. Itu menunjukkan intervensi elite politik sangat kuat.
Menurut Adnan, Ali Mazi aktif karena tekanan Partai Golkar terhadap lembaga yudikatif. Tekanan ini, katanya, tercium ketika secara resmi Partai Golkar membentuk tim khusus proses hukum Ali Mazi. Berarti partai masih menjadi bungker koruptor, ujarnya.
Jaksa Agung Hendarman Supandji menolak menanggapi pengaktifan Ali Mazi karena hal itu bukan kewenangannya. Kewenangan kami mengajukan kasasi, dan dia tetap terdakwa, katanya.
Meskipun kejaksaan mengajukan kasasi, anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Topane Lumbuun, mengatakan pemerintah wajib mengembalikan hak keperdataan seseorang setelah bebas murni. Termasuk, katanya, mengaktifkan Ali Mazi sebagai gubernur.
Pernyataan itu didukung ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Rudi Satrio. Ia menilai keputusan Presiden tak mencederai hukum. Karena proses pemeriksaan di kasasi tidak mengharuskan dihadiri, ujarnya.
Namun, Adnan menganggap tafsir bebas murni berarti berkekuatan hukum tetap merupakan wewenang Mahkamah Agung. Padahal, katanya, Mahkamah Agung menerima kasasi kejaksaan. Hal itu diartikan bahwa Mahkamah mendefinisikan putusan bebas murni belum in kracht. BUDI SAIFUL HARIS | MUHAMMAD NUR ROCHMI | ERWIN DARIYANTO
Sumber: Koran Tempo, 23 Juli 2007