Pengadilan Tipikor Terancam
Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di tahun 2009 ini benar-benar berada dalam posisi terancam. Hal ini terkait dengan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) kepada pembuat Undang-Undang (UU) untuk membentuk UU tentang Pengadilan Tipikor dalam jangka 3 (tiga) tahun setelah putusan. Sesuai deadline yang diberikan MK, UU Pengadilan Tipikor ini pun harus selesai paling lambat 19 Desember 2009. Artinya, usia Pengadilan Tipikor hanya tinggal setahun saja.
Meski pihak Dewan Perwakilan Rak yat (DPR) sering kali menyatakan bahwa RUU Pengadilan Tipikor menjadi prioritas, bahkan ditargetkan akan selesai sebelum Pemilu 2009, faktanya proses pembahasan belum juga dilakukan.
Ironisnya, DPR justru menyalahkan pemerintah sebagai penyebab tidak selesainya RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Keterlambatan penyerahan RUU oleh pemerintah memang satu persoalan. Akan tetapi, berlarut-larutnya proses pembentukan UU di DPR merupakan faktor paling mendasar yang berpotensi menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor.
Pembahasan RUU Pengadilan Tipikor oleh DPR jelas sangat mengkha watirkan. Pertama, proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di DPR tidak akan selesai hingga akhir batas waktu karena masing-masing anggota DPR lebih memprioritaskan persiapan Pemilihan Umum Le gislatif dan Presiden 2009.
Kedua, jika tidak dilakukan pengawalan dengan baik, proses pengesahan RUU dapat saja selesai sebelum waktu berakhir, namun substansi UU Pengadilan Tipikor berpotensi merugikan pengadilan khusus ini dan upaya pemberantasan korupsi di masa datang.
Di sisi lain, bukan rahasia umum bahwa mayoritas anggota DPR tidak menyukai keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga Pengadilan Tipikor. Hal ini mengingat sudah ada delapan anggota DPR yang dijerat dalam perkara korupsi oleh KPK. Di antaranya adalah Saleh Djasit, Noor Adenan, Hamka Yamdu, dan Al Amin Nasution yang sudah di vonis oleh hakim Pengadilan Tipikor.
Sejauh ini, ada 3 (tiga) isu krusial dalam substansi RUU yang menentukan hidup matinya Pengadilan Tipikor.
Pertama, mengenai tempat kedudukan. Dalam RUU, ditegaskan bah wa kedudukan Pengadilan Tipikor berada di setiap kabupaten. Kon disi ini berimplikasi pada sulitnya mencari hakim karier dan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor yang memenuhi syarat, berkualitas, dan beri ntegritas. Dengan memerhatikan jumlah kabupaten di In donesia per 2003 yang mencapai 434 kabupa ten dan dengan asumsi satu majelis terdiri atas lima orang, maka yang dibutuhkan 2.170 orang hakim. Untuk kondisi saat ini, jelas kebutuhan sebanyak itu sangat tidak mungkin terpenuhi.
Kedua, komposisi hakim ad hoc dan karier. RUU tidak memberikan kejelasan mengenai komposisi hakim ad hoc dan karier yang akan memerik sa dan mengadili perkara korupsi di persidangan. Hal itu dapat berimplikasi terhadap jumlah hakim karier yang akan lebih besar dari hakim ad hoc (bandingkan komposisi saat ini berdasarkan UU KPK yang menyebutkan secara tegas komposisi majelis hakim terdiri atas tiga hakim ad hoc dan 2 hakim karier).
Ketiga, kewenangan pimpinan pengadilan dan MA dalam penentuan jumlah dan komposisi hakim. RUU Pengadilan Tipikor memberikan kewenangan ketua pengadilan dan ketua MA untuk menentukan jum lah dan komposisi hakim. Kondisi ini berrdampak adanya intervensi dari pimpinan untuk memilih orang-orang sesuai keinginan atau pesanan dan berdampak pada vonis yang ringan atau bahkan membebaskan terdakwa korupsi. Pada kondisi lain, pimpinan pengadilan juga dinilai tidak steril dari isu mafia peradilan dan intervensi kekuasaan eksekutif ataupun bisnis.
Hal yang paling me na kut kan ada lah UU Peng adilan Tipikor tidak di sahkan hingga berakhirnya jangka waktu yang di tentukan MK. Hal ini akan mem bawa konse kuen si bahwa per kara-perkara ko rupsi yang ditanga ni oleh KPK nantinya akan di adili di pengadilan umum. Kenyataannya, gerbong pengadilan umum dinilai tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Bahkan, ter kesan menjadi ‘pelindung’ koruptor.
Fakta yang terjadi adalah trenvonis bebas justru meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch antara tahun 2005-2008, dari 1421 ter dakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi yang di vonis bebas oleh pengadilan umum. Rata-rata vonis yang diberikan pun hanya 5,82 bulan penjara untuk semua tingkat peradilan seluruh Indonesia.
Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan Pengadilan Tipikor. Untuk tahun 2008 saja, dari 31 terdak wa perkara korupsi yang diadili, tiada satu pun yang divonis bebas. Vonis yang diberikan pun cukup memberikan efek jera, yaitu rata-rata selama 4 tahun 2 bulan penjara.
Salah satu kelebihan hakim Pengadilan Tipikor dalam memutus suatu perkara tidak semata dilandasi semangat untuk menghukum, me lainkan menegakkan keadilan dan mengembalikan keuangan negara yang dikorupsi. Hal ini jelas berbeda dengan hakim di pengadilan umum, yang lebih bersemangat membebaskan koruptor dan menabrak rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat serta mengecilkan uang yang harus dibayar oleh terdakwa.
Sejauh ini, kondisi pengadilan umum masih buruk rupa karena maraknya praktik jual beli keadilan. Se tidaknya, ini terlihat dari berbagai survei menyangkut lembaga peradilan. Riset PERC (Political Eco nomic and Risk Consultancy) tahun 2008 menunjukkan bahwa di posisi peradilan, Indonesia terburuk se-Asia. Hal ini disebabkan oleh buruknya komitmen peradilan umum dalam pemberantasan korupsi.
Pembentukan Pengadilan Tipikor adalah respons konkret atas ancaman dan akibat yang ditimbulkan oleh korupsi yang tidak hanya membahayakan pembangunan, tetapi juga meruntuhkan lembaga dan nilainilai demokrasi serta meniadakan keadilan dan menghancurkan supremasi hukum. Likuidasi eksistensi Pengadilan Tipikor di tengah rapuhnya kredibilitas dan integritas pengadilan negeri adalah upaya serius mendelegitimasi program percepatan pemberantasan korupsi sekaligus mengingkari tuntutan publik atas akuntabilitas peradilan.
Pengakuan atas eksistensi Pengadilan Tipikor melalui sebuah UU menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak jika Indonesia benar-benar ingin bersih dari korupsi. Untuk meng hindari upaya pembusukan keberadaan Pengadilan Tipikor, perlu upaya lebih serius dan konsistensi komitmen DPR secara institusional untuk menyelesaikan UU ini tepat waktu.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Republika, 15 Januari 2009