Pengadilan Tipikor Sering Kebagian Kasus Teri
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar akan kembali menggelar perkara korupsi kelas teri. Kasus korupsi yang melibatkan Hartati, mantan Lurah Soka, Palopo, dilimpahkan Kejaksaan Negeri Palopo kemarin. Nilai kerugian seperti yang termuat dalam surat dakwaan yang diterima panitera pengadilan sebesar Rp 3,6 juta.
Ihwal banyaknya kasus korupsi dengan nilai kerugian kecil di Tipikor, menurut Abdur Razak, salah satu hakim Tipikor, pihaknya akan meminta pertimbangan kepada petinggi hukum di Jakarta. "Ada rencana kami untuk meminta pertimbangan ke Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Komisi Bidang Hukum DPR RI," kata Abdur di ruangan kerjanya kemarin.
Ternyata bukan kali ini saja Pengadilan Tipikor Makassar menangani perkara kelas teri. Seperti pada kasus Hartati, yang terseret dugaan penyelewengan beras murah sebanyak 2.295 kilogram yang disalurkan untuk 153 keluarga pada 2009. Sebelumnya ada kasus korupsi pembangunan proyek Green House di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone dengan nilai kerugian Rp 21 juta. Lalu ada kasus korupsi pembangunan bendungan di Kecamatan Penrang, Kabupaten Wajo, pada proyek gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan di Dinas Kehutanan, Kabupaten Wajo, dengan nilai kerugian Rp 23 juta.
Menurut Abdur, rencana meminta pertimbangan pusat sudah dirembukkan di internal hakim ad hoc yang berjumlah enam orang dan sudah mendapat lampu hijau dari Ketua Pengadilan Negeri Makassar Andi Makkasau. Sedangkan Makkasau mengatakan hakim tidak boleh menolak perkara, baik perkara kecil maupun perkara besar. "Asalkan jelas unsur korupsinya ada, maka harus diproses. Sebab, memang itu yang disodori," ujar Makkasau.
Meski demikian, Abdur meminta agar pihak kepolisian dan kejaksaan jeli melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku, terutama di tingkat penyelidik, dia menambahkan, kalau memang sudah cukup bukti, tidak usah sampai pada status penyidikan. "Ini kalau perkara kerugian kecil." Namun yang menjadi persoalan, kata Abdur, semua kasus harus diadili. "Tapi yang lebih penting peradilan harus mengedepankan asas biaya perkara murah, sederhana, dan ringan," ia menambahkan.| IRFAN ABDUL GANI
Sumber: Koran tempo, 3 November 2011